Rabu, 17 September 2025

Memak(n)ai Baju Kesadaran Nasional

“Ingat ya, Bapak dan Ibu sekalian,besok tanggal 17, Hari kesadaran Nasional. Mari memakai baju seragam KORPRI.” Demikan bunyi chat seorang rekan kerja saya, di aplikasi WAG sekolah tempat saya bertugas. 

Menjadi pegawai negeri bukan hanya sekadar status pekerjaan, melainkan sebuah amanah yang melekat erat dengan tanggung jawab besar. Pegawai negeri sering disebut sebagai ujung tombak pelayanan publik karena keberadaannya bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Dalam setiap tugas yang diemban, pegawai negeri dituntut untuk menunjukkan sikap disiplin, profesional, dan penuh kesadaran. Sikap inilah yang bisa diibaratkan sebagai "baju kesadaran", pakaian tak kasatmata yang harus selalu dikenakan dalam menjalankan tugas negara.

Kesadaran ini tidak lahir begitu saja. Ia merupakan buah dari pemahaman mendalam bahwa pekerjaan yang dilakukan bukan hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kepentingan banyak orang. Pegawai negeri, mulai dari tingkatan paling rendah hingga paling tinggi, harus senantiasa menyadari bahwa setiap langkah kerja yang dilakukan membawa dampak nyata bagi masyarakat. Seorang guru negeri yang telaten mengajar akan memengaruhi masa depan anak-anak bangsa. Seorang tenaga kesehatan negeri yang disiplin akan menyelamatkan banyak nyawa. Begitu pula pegawai administrasi, aparat keamanan, maupun pegawai di instansi lain—semua memegang peran vital dalam melancarkan roda pemerintahan.

Namun, dalam menuntut disiplin yang tinggi kepada pegawai negeri, pemerintah sebagai pemberi mandat juga tidak boleh menyepelekan hak-hak yang melekat pada diri mereka. Gaji dan tunjangan bukanlah semata-mata bentuk balas jasa, melainkan instrumen penting untuk mendukung profesionalitas dan kinerja yang optimal. Seorang pegawai yang sejahtera secara finansial akan lebih mudah berkonsentrasi pada pekerjaannya, tidak terdorong mencari jalan lain yang bisa menjerumuskan pada penyimpangan. Oleh karena itu, keseimbangan antara kewajiban dan hak harus dijaga dengan adil.

Sayangnya, dalam kenyataan sehari-hari, sering terjadi ketimpangan. Pegawai negeri dituntut hadir tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan dengan baik, bahkan diminta berkontribusi lebih di luar jam kerja. Akan tetapi, gaji yang diterima kerap dianggap tidak sepadan dengan beban tugas. Tunjangan yang dijanjikan kadang terlambat, atau besarnya tidak sesuai dengan standar kebutuhan hidup layak. Situasi seperti ini bisa memunculkan rasa kecewa, bahkan menurunkan motivasi. Padahal, menjaga motivasi pegawai sama pentingnya dengan menegakkan disiplin kerja.

Memakai baju kesadaran berarti menempatkan diri dalam posisi seimbang antara hak dan kewajiban. Dari sisi pegawai negeri, kesadaran ini terwujud dalam kedisiplinan hadir tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan dengan sungguh-sungguh, serta melayani masyarakat tanpa diskriminasi. Dari sisi pemerintah, kesadaran itu hadir dalam bentuk pemenuhan hak pegawai secara wajar, mulai dari gaji yang memadai, tunjangan yang mendukung, hingga jaminan kesejahteraan di hari tua. Hubungan yang harmonis antara kedua belah pihak akan melahirkan pelayanan publik yang berkualitas.

Selain itu, memakai baju kesadaran juga berarti memahami bahwa pekerjaan sebagai pegawai negeri adalah ladang pengabdian. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk menjadi pelayan masyarakat yang sah di bawah payung negara. Maka, ketika kesempatan itu datang, sudah semestinya dijalankan dengan sepenuh hati. Disiplin bukan lagi sekadar kewajiban yang dipaksakan, tetapi menjadi kebutuhan untuk menjaga kehormatan diri dan lembaga tempat bekerja.

Kesadaran ini pun harus diwarnai dengan kejujuran dan integritas. Baju kesadaran tidak hanya menuntut disiplin hadir dan bekerja, tetapi juga menolak segala bentuk penyalahgunaan wewenang. Godaan korupsi, kolusi, atau gratifikasi sering kali muncul di tengah jalan. Pegawai negeri yang benar-benar memakai baju kesadaran akan mampu berkata tidak terhadap hal-hal yang merusak integritas, karena ia sadar bahwa pengkhianatan terhadap amanah berarti mengkhianati masyarakat dan negara.

Lebih jauh, kesadaran yang dimaksud tidak berhenti pada ranah individu, tetapi juga kolektif. Pegawai negeri bekerja dalam sistem birokrasi yang saling terkait. Jika satu bagian bekerja tanpa kesadaran, maka rantai pelayanan publik akan terganggu. Oleh sebab itu, budaya disiplin dan profesionalitas harus ditanamkan bersama. Pemerintah perlu menyediakan sistem yang transparan, sederhana, dan tidak berbelit-belit, agar pegawai dapat bekerja lebih efektif.

Dalam konteks ini, gaji dan tunjangan kembali memegang peran sentral. Kesejahteraan yang terjamin akan mendorong pegawai untuk bekerja lebih tenang, lebih ikhlas, dan lebih berorientasi pada pelayanan. Kenaikan gaji atau tunjangan seharusnya tidak dipandang sebagai beban negara, melainkan investasi jangka panjang untuk membangun pemerintahan yang bersih, efektif, dan dicintai rakyat. Seorang pegawai negeri yang merasa dihargai akan bekerja dengan penuh dedikasi, bahkan rela memberikan yang terbaik melebihi panggilan tugas.

Pada akhirnya, memakai baju kesadaran adalah wujud komitmen bersama. Pemerintah, sebagai pengelola kebijakan, dan pegawai negeri, sebagai pelaksana di lapangan, harus berjalan beriringan. Disiplin, profesionalitas, integritas, dan kesejahteraan adalah empat pilar yang harus dijaga agar pelayanan publik benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat.

Seorang pegawai negeri yang bekerja dengan penuh kesadaran akan menghadirkan wajah negara yang ramah dan dipercaya rakyatnya. Sebaliknya, jika pegawai bekerja tanpa kesadaran, sekadar menggugurkan kewajiban, maka pelayanan publik akan terasa hambar, bahkan memunculkan ketidakpuasan di tengah masyarakat.

Maka, mari kita kenakan baju kesadaran itu setiap hari. Baju yang tidak terlihat mata, tetapi akan terpancar dalam sikap, perilaku, dan hasil kerja. Dengan kesadaran, seorang pegawai negeri tidak hanya menjalankan rutinitas, tetapi juga menunaikan ibadah pengabdian kepada bangsa dan negara. Dan dengan kesadaran pula, pemerintah tidak sekadar menuntut, tetapi juga memberikan penghargaan yang layak kepada para pegawai. Jika keduanya berjalan selaras, maka pelayanan publik di negeri ini akan semakin bermartabat, dan cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat akan semakin dekat untuk diraih.


Selasa, 15 Juli 2025

Menagih Seragam Janji

Pesta demokrasi telah berlalu, uforia kemenangan sudah dirayakan. Tapi, realisasi janji kampanye jangan dilupakan oleh pemimpin terpilih. 

Satu di antara janji manis itu adalah seragam sekolah bagi murid/siswa jenjang pendidikan dasar. Berhubung tingkat SMA/SMK sudah ditangani oleh pemerintah provinsi. 

Sudah menjadi cerita basi, jika penyaluran seragam sekolah gratis dilakukan oleh pemerintah menjelang semeseter kedua tahun pelajaran berjalan, bahkan menjelang penaikan kelas. 

Padahal jika pemerintah memerhatikan dan ingin merealisasikan janji manisnya secara serius dan memiliki nilai plus dibanding pemerintahan sebelumnya, seharusnya penyaluran seragam gratis ini dilakukan di awal tahun ajaran baru. 

Jika bukan di hari pertama bisa pada saat pelaksanaan MPLS berlangsung. Apakah ini realistis? Ya, ini realistis. Karena masa penerimaan murid baru sudah lebih awal dilakukan dan diselesaikan setiap sekolah, jenjang SD hingga SMP. 

Dengan pedoman Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) serangam dari pusat. Tentu kepala sekolah sudah menyampaikan ke dinas pendidikan setempat perihal SPMB tersebut. Jumlah siswa yang diterima oleh setiap sekolah. 

Bahkan dalam formulir isian, sudah dicantumkan ukuran berat dan tinggi badan setiap anak. Bahkan tahun-tahun sebelumnya, ukuran anak tidak menjadi patokan utama, dirata-ratakan saja. Sehingga setiap anak menerima ukuran pakaian yang seragam. 

Idealnya, para orang tua/wali murid baru setiap jenjang pendidikan dasar, tidak perlu merogoh saku dan menguras isi dompetnya untuk membeli seragam sekolah, yang harganya tidak bisa dianggap murah. Cukup menunggu pakaian yang dijanjikan pemerintah terpilih merealisasikan janjinya. 

Pihak sekolah pun, tak perlu mempermasalahkan jika ada murid baru yang memakai pakaian bukan seragam sekolah. Memang penulis belum menemukan kasus adanya orang tua yang tidak mau membelikan anaknya seragam sekolah. dan penulis bukan menafikan kewajiban orang tua dalam menyiapkan perlengkapan anak-anaknya dalam menempuh pendidikan.

Tetapi, ini untuk mengingatkan pemerintah, bahwa mereka memiliki janji yang harus segera ditunaikan. Tidak dengan dalih ini dan itu. Toh pada saat kampanye, penyampaian visi misi, hanya dibahasakan secara umum, tidak eksplisit persyaratan ataupun estimasi waktu penyalurannya. 

Jika ada masyarakat yang bertanya dan menggugatnya, itu sesuatu yang lumrah dan pemerintah harus terbuka dan berlapang dada jika mendapat pertanyaan kritis dari masyarakatnya.