Selasa, 23 September 2014

The Code RANI


“Yani, ikutan dong”. Panggilku setengah berteriak, ketika melihat seorang teman sekelasku, berjalan di tengah hujan yang cukup deras siang itu, dengan memakai sebuah payung. “Yani…!!! Numpang ya”. Terikakku lagi kali ini agak lebih keras. Rupanya panggilanku yang pertama tadi tidak didengarnya, mungkin karena suara guyuran air hujan yang memang sangat keras memekakkan gendang telinga. Pada panggilanku yang kedua barulah dia menoleh ke arahku. “Ayo kesini”. Sambil tersenyum membalas ke arahku dan mengajakku pulang bersamanya. “Kamu yang ke sini, masa aku yang ke sana, nanti aku basah”. Balasku setengah berteriak,
karena suara hujan yang sedikit mengganggu komunikasi kami. Dia pun berjalan menuju tempat aku berteduh, di pojok ujung gedung sekolah kami. “Ayo kita kita sama-sama pulang, payungku muat untuk dua orang”. Ucapnya menawarkan bantuan, sesaat setelah dia sudah berdiri di dekat tempat aku duduk, setengah jongkok. “Terima kasih ya, aku cuma bercanda kok”. Balasku tersenyum dan tertawa kecil. “Iih ayolah Ndi, tidak apa-apa kok, kan lagi hujan, nanti kamu tidak bisa pulang cepat”. Ajaknya dengan serius. “Tidak apa-apa, kamu duluan aja, nanti aku berjalan di sela-sela hujan biar tidak basah, hehehe..” ucapku sambil bercanda. “Benar nih tidak mau ikut? nanti kamu menyesal kalau nasinya basi karena lama menunggu kamu” balasnya dengan bercanda juga. “Maaf ya, sudah membuat perjalannannya tertunda. Biar aku tunggu sampai hujannya agak reda” tegasku lagi. “Kalau begitu aku duluan ya” ucapnya permisi sambil tersenyum. Dia pun berbalik menuju jalan melanjutkan kembali perjalanannya pulang ke rumah. Kupandangi hujan yang membasahi payung merah Yani, dengan sedikit menyesal dan mencaci diri sendiri, mengapa aku tolak ajakan Yani, keikhlasannya untuk menolong. Padahal aku sendiri yang memanggilnya dan menawarkan diri, ikut bersamanya pulang sekolah. Bodoh betul kamu Ndi, umpatku sekali lagi, mengatai diriku bodoh.
Tapi untunglah kamu tidak ikut bersama dia pulang, hibur hatiku. Mungkin saja aku akan menjadi bahan ejekan teman-teman, yang kebetulan melihat aku jalan bersama anak baru itu. Pasti jadi tanda tanya lagi bagi mereka. Ya maklumlah ikut gaya infotainmen, asal sedikit saja, sudah jadi bahan gosip seperti seorang selebritis. Untung.. Untung. gumamku sambil tersenyum pada diri sendiri.
Yani memang anak baru di sekolahku, belum cukup satu bulan dia pindah ke sini. Tapi karena anaknya supel dan pandai bergaul, dia terasa bukan anak yang baru di sekolah kami. Kami sudah akrab, apalagi sering sama-sama bertukar fikiran tentang pelajaran. Maklumlah dia pernah sekolah di kota, jadi kami menganggap dia lebih punya banyak informasi dan pengetahuan dibanding kami yang hanya tinggal di desa.
Sebenarnya hari-hari sebelumnya kami sering pulang bareng. Tapi, tidak berduaan saja. Ada beberapa orang teman yang rumahnya searah dengan rumah kami. Hanya saja hari ini aku masih canggung dan sedikit malu, kalau harus berjalan berdua dengannya, apalagi berdua dibawah sebuah payung.
Kulirik jam yang ada di tangan kiriku, jarum jamnya sudah berada di antara angka dua dan enam, itu artinya sudah jam 14 lewat tiga puluh menit. Tapi hujan belum berhenti mengguyur bumi, walau sudah tidak sederas tadi. Rasa lapar dan kantuk yang mulai menyerangku, seakan sudah membujukku untuk pulang. Walau masih sedikit gerimis kuputuskan untuk menerobosnya. Buku  yang aku bawa, tempatnya aman di dalam tas, hanya baju dan celana yang akan sedikit basah. Agar tidak kena cipratan air hujan yang tergenang di lubang-lubang kecil, aku keluarkan sepatu serta kaos kaki, kemudian menentengnya hingga ke rumah.
Masih terlintas dalam fikiranku, kejadian yang baru saja berlalu, menolak ajakan Yani, untuk pulang bareng di bawah sebuah payung. Heeemmm lucu juga ya, mau tapi malu, malu-malu kucing itu namanya Andi, bisik hatiku dengan sedikit senyum di bibir.
Setelah shalat Ashar, aku memeriksa kembali catatan yang diberikan oleh guru di sekolah. Tiba-tiba aku melihat sebuah benda kecil diantara jejeran buku-bukuku, sebuah pulpen berwarna merah muda, yang tintanya sudah hampir habis. Pulpen ini aku ambil, ketika aku dan beberapa orang teman, berinisiatif mengerjain seorang pendatang baru di kelas kami. Ya itulah Yani. Waktu itu, dia meletakkan pulpennya di atas salah satu bukunya, sementara dia sedang asyik ngobrol dengan salah seorang temanku yang lain. Kais -salah seorang temanku juga- diam-diam mengambil pulpen Yani dan menyerahkannya padaku dan bertindak seolah-olah tidak terjadi sesuatu apapun.
“Andi kamu lihat bukuku tidak?” tanya Yani sekembalinya ke tempat duduknya. “Pulpen apa?” tanyaku balik. “Pulpen warna pink, tadi aku simpan disini” jelasnya, sambil menunjuk meja yang dia tempati menyimpan buku dan pulpennya. “Barangkali di dalam buku atau di dalam laci”, jawabku, sambil memainkan adegan membantu mencarikan pulpennya, aku dan Kais saling melempar senyum tapi tidak sampai terlihat oleh Yani. Barangkali jatuh di bawah kursi, coba aku carikan. Saranku sambil melangkah menuju tempat duduk Yani, dan membungkuk ke bawah kursinya.
“Kalau memang tidak ada, nanti pinjam sama yang lain saja dulu, tuh sudah bunyi bel masuk” ucapku menenangkan Yani, yang dari tadi sibuk mencari pulpennya.
Maafkan aku ya teman, karena sudah mengambil pulpenmu, dan membuatmu sibuk mencarinya, nanti aku kembalikan lagi. Ucapku dalam hati sambil tersenyum melihat pulpen Yani yang sedang ku pegang.
Umi, kayaknya aku tidak bisa sekolah hari ini, kepalaku agak sakit. Ucapku pada ibuku, memberitahu tentang kondisiku yang kurang sehat. Mungkin kamu kena hujan kemarin, balas  ibuku. Iya, kemarin sedikit kena hujan kepalaku. Ucapku pada ibu menerangkan. Mungkin karena kepalaku sensitif dengan air hujan, asal kena air hujan biar sedikit saja pasti langsung ada reaksi negatifnya. Ya sudah kalau begitu, tulis saja surat buat gurumu di sekolah, nanti umi titip sama temanmu yang lewat sebentar. Saran ibuku yang kembali masuk ke ruang dapur.
“Assalamu alaikum” ucap seseorang dari arah pintu
“Waalaikumussalam”. Silahkan masuk nak. Ku dengar suara ibuku menjawab salam, sambil mempersilahkan tamu yang datang untuk masuk. Kemudian terdengar perbincangan di antara mereka sejenak, sebelum seseorang mengetuk pintu kamarku dan mengucapkan salam.
“Masuk saja, pintu tidak terkunci”. Jawabku mempersilahkannya masuk ke kamar.
“Eh Yani dan Sisi, silahkan masuk”, sapaku ketika melihat dua orang temanku berdiri di ambang pintu kamar. “Tidak usah bangun, istirahat saja di situ”. Saran Yani, mencoba mencegatku bangun dari tempat pembaringan. Aku hanya membalasnya dengan senyum.
“Kamu sih tidak mau ikut sama aku kemarin, makanya kena hujan, ucap Yani membuka pembicaraan, sambil tertawa kecil, diikuti Sisi yang sejak awal lebih banyak diam.
“Tidak apa-apa kok, cuma sakit biasa saja” balasku. Suratku tadi sampai kan ke sekolah? lanjutku bertanya. “Iya, tadi waktu aku lewat, ibumu nitip sama aku”. Kali ini Sisi yang menjawab.
“Terima kasih ya sudah kurepotkan”. Ucapku.
Sisi hanya membalas deengan tersenyum.
“Ngomong-ngomong, tadi belajar apa di sekolah? Aku boleh pinjam catatannya nanti ya” tanyaku kepada kedua orang temanku ini.
“Berhubung catatanku seperti cakar ayam, yang aku yakin kamu tidak bisa membacanya, jadi kamu pinjam saja catatannya Yani yah”. Jawab sisi diiringi tawa kecilnya.
“Hmhm… terserah saja, kalau gak bisa dibaca ya langsung saja digambar huruf-hurufnya”. Balasku dengan nada bercanda. Sesaat kemudian Yani mengeluarkan  sebuah buku tulis dari dalam tasnya, dan membuka bagian yang telah diajarkan oleh guru di sekolah, kemudian menjelaskan secara singkat, bagian yang mana yang harus aku catat ulang. “Kalau ada yang kurang jelas, nanti ditanyakan ya”. Sambungnya setelah menyerahkan bukunya padaku.
“Oke deh”. Jawabku singkat. “Penjelasan ibu Jen diterangkan ulang juga ya” lanjutku sambil tertawa kecil. “Hahaha”…Yani dan Sisi ikut tertawa.
“Eh kami permisi dulu yah, kamu musti cepat sembuh Ndi, teman-teman menunggu kamu di sekolah”. Ucap Yani sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Istrirahat aja dulu Ndi”, sambung Sisi.
“Iya, terima kasih atas kunjungan dan bukunya yah, mudah-mudahan besok aku sudah bisa ke sekolah lagi’. Balasku kepada mereka sambil berdiri dari tempat tidur dan mengantar mereka sampai pintu depan.
Setelah mereka berdua menghilang dari pandanganku. Aku kembali ke dalam kamar. Dan entah karena apa, tanpa aku sadari, tiba-tiba mulutku bersiul dan bibirku tersenyum sendiri, seperti merasakan kebahagiaan. Dan rasa sakit kepala yang sejak pagi aku rasakan. Sekarang hilang dan berhenti.
Aku meraih buku catatan Yani dan membuka-buka lembarannya, melihat catatan yang tadi ditunjukkan dan akan aku tulis ulang. “Cantik juga tulisannya, seperti orangnya” ucapku pada diri sendiri sambil tersenyum sendiri.
Tapi dalam hatiku tiba-tiba timbul rasa penasaran, ketika aku buka halaman terakhir di buku Yani, sebuah tulisan “ RANI” yang di luarnya sebuah gambar hati. “Apa maksudnya ya?”, aku mencoba menebak-nebak sendiri tanda itu. tidak mungkin itu singkatan namanya, setahuku namanya tidak memiliki huruf R. fikirku sendiri.
Aku terus berfikir mencoba mengurai dan memecahkan kata dan simbol itu. tapi di sisi lain, aku merasa tak pantas untuk mengetahui apa makna di balik simbol itu, itu kan rahasia orang, kenapa mesti aku harus ikut campur urusan orang?. Apalagi aku, tidak punya hubungan apa-apa dengannya, selain hanya sebatas teman biasa. Tapi semakin aku lawan rasa penasaran itu, semakin kuatlah ia mendesak fikiranku untuk menyingkapnya.
Sekonyong-konyong aku teringat sesuatu, beberapa hari yang lalu, saat berangkat ke sekolah, aku melihat Yani sedang berbincang-bincang dengan seseorang di pinggir jalan, di depan rumah salah seorang temanku, yang sepertinya sedang ditungguinya. Kelihatannya mereka sangat akrab, dan sedang membicarakan sesuatu. Entah apa itu, aku tidak tahu dan tidak perlu aku ketahui.
Apakah mungkin kata RANI adalah rangkaian dari akronim nama mereka berdua yah? Karena sepengetahuanku nama cowok itu huruf pertamanya adalah R. tapi mereka kenalan dimana, dan jadiannya kapan? Bukankah Yani orang yang baru di kampung kami. Pertanyaan-pertanyaan itu terus memburu dan berkejar-kejaran dalam fikiranku, seakan tanda itu telah membuat aku cemburu. Segera aku tutup buku Yani dan meletakannya di atas meja dekat tempat tidurku. Besok atau nanti, akan aku tanyakan langsung kepada Yani. Gumamku dalam hati. Tapi untuk apa??? Apakah ada manfaatnya bagiku kalau aku mengetahui maksud dari tanda itu???. hatiku kembali berperang. Nanti saja dilihat apa maksud dari kata-kata itu, bisa saja itu bukan tulisan Yani, siapa tau itu nama salah seorang teman Yani di sekolahnya yang dulu. Hatiku mencoba menghibur. Kucoba menghirup udara dengan perlahan dan menghembuskannya kembali untuk menenangkan fikiranku dan mencoba memejamkan mata untuk tidur siang…..

Tidak ada komentar :

Posting Komentar