Jumat, 17 Mei 2019

Saya Mau Buku itu

Tahukah Anda bahwa 17 mei merupakan hari buku nasional? Ya, 17 Mei ditetapkan sebagai hari buku nasional, bertepatan dengan momentum peresmian gedung perpustakaan nasional, oleh menteri pendidikan saat itu, bapak Malik Fajar. Dengan adanya hari buku nasional ini diharapkan kecintaan masyarakat pada buku semakin meningkat. Dengan mencintai buku, masyarakat pun diharapkan gemar membaca, gemar menulis, atau lebih singkatnya budaya literasi kian meningkat.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa masyarakat yang melek literasi itulah yang akan membangun peradaban maju, modern dan tentu saja harus peradaban itu harus beradab karena peradaban yang tak beradab adalah peradaban yang meninggalkan kebudayaannya. Dengan kata lain, untuk membangun sebuah peradaban, maka titik tumpu yang harus diperhatikan adalah budaya atau kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa.
Saya tidak yakin jika sebuah bangsa akan membangun peradaban jika menanggalkan kebudayaannya. Bisa saja dari segi pembangunan infrastrukturnya maju, canggih dan luar biasa. Tetapi kemajuan itu adalah kemajuan semu, atau palsu.
Pemerintah yang tengah berkomitmen memajukan masyarakatnya agar melek literasi, meletakkan literasi budaya sebagai literasi dasar yang harus dikuasai oleh seseorang yang ingin dianggap memiliki kecakapan berliterasi. Dan menyandingkannya dengan kecakapan literasi lainnya. Seperti, literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, dan literasi digital. Kesemua literasi dasar tersebut saling berkaitan dan bisa saling memengaruhi.
Momentum hari buku nasional bisa dijadikan batu loncatan atau pemantik bagi bangsa kita untuk meningkatkan budaya literasinya. Seperti yang telah kita jalankan beberapa tahun terakhir ini. Pemerintah dan masyarakat bahu membahu melaksanakan sebuah program yang bisa meningkatkan budaya baca masyarakat. Misalnya, program pengiriman buku ke seluruh masyarakat khususnya yang tinggal di daerah-daerah terpencil, daerah perbatasan, pulau-pulau terluar. Baik melalui BUMN, perusahan swasta, komunitas ataupun perorangan.
Revitalisasi dan maksimalisasi pembangunan dan pemanfaatan perpustakaan, taman bacaan masyarakat, baik yang dikelola oleh pemerintah secara langsung, LSM, komunitas atau perpustakaan pribadi. Gerakan Literasi Nasional (GLN) melaui Gerakan Literasi Keluarga (GLK), Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan Gerakan Literasi Masyarakat (GLM). Kesemuanya itu memperlihatkan kecenderungan dan kesadaran akan kebutuhan pada buku, bahan bacaan dan literasi itu sendiri. Dan untuk mewujudkan kesemua itu, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama bergerak.
Popularitas hari buku nasional memang tak segaung hari-hari besar nasional lainnya, seperti hari pendidikan, hari kebangkitan, hari proklamasi, sumpah pemuda dan sebagainya. Hari buku nasional, masih asing ditelinga masyarakat kita, itu karena tidak diupacarakan secara khusus, atau diadakan kemeriahan. Padahal masyarakat kita terlanjur suka dengan yang hirup-pikuk, kemeriahan dan kesemarakan. Tapi saya tidak mengatakan bahwa hari buku nasional ini harus diperingati dengan menghamburkan juga anggaran yang dinikmati secara seremonial an sich. Tanpa memiliki efek jangka panjang.
Tahun ini, hari buku nasional begitu istimewa, khususnya bagi umat Islam tanah air. Karena bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Letak keistimewaannya adalah karena bulan Ramadhan, bulan diturunkannya ayat pertama al-qur'an. Yang bunyi ayat tersebut diawali dengan kata iqra' yang berarti membaca. Meskipun pada ayat ini tidak memerintahkan secara eksplisit (terperinci) untuk membaca buku semata. Tapi beriqra' secara luas dan mendalam. Salah satunya melaui membaca buku.
Sudah semestinya kita umat yang beragama Islam mampu menjadikan ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw. sebagai doktrin yang bisa mengembalikan spirit membaca bagi kehidupan kita.
Banyak yang beranggapan bahwa sebenarnya minat baca bangsa kita tinggi, hal ini dibuktikan dengan tingkat penggunaan media digital dalam penyebaran informasi. Bahkan informasi yang tidak penting pun di sebar kemana-mana.
Menurut Yudi Latif dalam bukunya Wawasan Pancasila, literasi media social hanyalah literasi literasi semu. Dapat kita buktikan dengan maraknya informasi hoax yang tersebar, berita yang belum terverifikasi kebenarannya merebak. Hal ini karena masyarakat kita tingkat membacanya baru pada tahapan bisa memindahkan informasi tersebut, belum membaca secara mendalam, memahami, menganalisa dan mengkritisi isi informasi tersebut.
Bukankah dalam al-qur'an kita diperintahkan untuk bertabayyun terhadap informasi yang kita dapatkan dari siapa pun datangnya. Kita mampu menelaah isi info tersebut. Apakah kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Fenomena lain dari merebaknya info hoax ini, telah menyita masyarakat kita untuk bergerak dan membaca secara konsisten dan persisten.
Pencanangan gerakan 15 menit membaca sebelum belajar yang di lakukan di sekolah, seharusnya bisa diterapkan di lembaga-lembaga atau instansi lain. Pekerjaan/rutinitas kita dalam keseharian tidak seharusnya menghapus, menghilangkan kebiasaan membaca. Bukankah setiap masa, ilmu pengetahuan itu mengalami kemajuan. Jika masyarakat kita sudah hilang minat dan daya bacanya, alamat masyarakat kita akan mengalami stagnansi. Karena pengetahuannya tidak berkembang.
Rendahnya minat baca masyarakat kita diantaranya disebabkan oleh sulitnya akses buku, mahalnya harga buku, dan juga masyarakat lebih gandrung memegang gadget dari pada buku, dengan alasan ribet, berat dan tidak pleksibel.
Memang, akses buku khususnya buku berkualitas dengan harga terjangkau hari ini masih sebuah problem. Sementara lembaga-lembaga penyedia bahan bacaan seperti perpustakaan sekolah, perpustakaan desa atau lembaga belum mengurus agar layak dikunjungi dan orang betah membaca di dalamnya. Perpustakaan masih menjadi nomor sekian dari penyediaan anggaraan.
Demikian pula, pendidikan bagi pemustaka atau khalayak pembaca belum berjalan secara maksimal. Sehingga perpustakaan terasa membosankan dan menggerahkan, Fungsi perpustakaan sebagai sarana rekreatif tidak dianggap sebagai sesuatu yang vital. Terlebih jika bahan pustakanya pun kurang memadai dan tidak lengkap.
Gaya hidup yang hedonis, konsumeris telah ikut andil memicu masyarakat kita menjauhi buku. Lebih senang belanja assesoris, pakaian, dan bahan lux lainnya. Tinimbang membeli buku. Masih beruntung jika pada gadget atau gawai kita yang super canggih itu menyimpan buku-buku digital (e-book) untuk kita buka, baca saat kita bersantai.
Patut disyukuri, di tengah pandangan eksklusifitas buku-buku di negara kita, masih banyak lembaga/komunitas dan person yang mau tergerak untuk mendonasikan buku-bukunya. Mengirimkan secara gratis hingga ke pelosok. Bahkan hingga ke pintu-pintu rumah pembaca, tanpa mengharap imbalan apapun, yang terpenting sampainya buku ke tangan pembaca.
Lebih baik menyalakan lilin, daripada mengutuki kegelapan, demikianlah kiranya filosofi para penderma dan penggerak yang mendermakan dan menggerakkan buku-buku ini. Di tengah sorotan akan rendahnya minat baca karena akses buku yang sulit.
Lalu, apa alasan kita menjauhi dan membaca buku?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar