Namanya Naina
Mathur, seorang sarjana Pendidikan. Memiliki cita-cita menjadi seorang guru.
Setelah menyelesaikan pendidikan magisternya di bidang sains, dia melamar
menjadi tenaga pengajar, dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Tapi, tak satu
pun sekolah yang mau menerimanya. Bahkan ada dua belas sekolah yang menolak
untuk menerimanya menjadi guru.
Penolakan
yang diberikan kepadanya sebenarnya bukan tanpa alasan. Naina, mengidap sebuah
penyakit “cegukan” yang disebut “syndrom tourette” Dari hal tersebutlah, dia
dianggap tidak akan sanggup menjadi pengajar. Pimpinan sekolah yang
ditempatinya melamar pekerjaan, menyarankannya untuk mencari pekejaan yang
lain. Bahkan ayahnya sendiri pun, tidak setuju bila ia menjadi guru.
Sebenarnya,
penolakan yang dialami Naina tidak hanya terjadi saat dia hendak melamar
pekerjaan menjadi seorang guru. Tetapi, saat sekolah pun, dia sudah mendapatkan
penolakan dari guru-gurunya, dari teman-temannya, hingga ia harus
berpindah-pindah tempat sekolah.
Suatu
hari, dia mendapatkan panggilan untuk mengajar di sebuah sekolah, yang bernama,
St. Notker’s. Kepala sekolah tersebut memberinya kesempatan untuk menajar di
sekolah tersebut, meskipun dari guru-guru yang lain, tampaknya merespon dengan
penolakan.
Ternyata,
perjuangan mendapatkan pekerjaansebagai guru, bagi Nania tidak berhenti di
situ. Karena perjuangan sesungguhnya datang setelah itu.
Kepala
sekolah, memberinya tanggung jawab untuk mengajar kelas 9F. Sebuah kelas yang
dicap “kelas pembuangan.” Kelas yang sudah bergonta-ganti guru, karena tak
pernah ada yang tahan mengajar di kelas ini.
Kelas
ini terdiri dari 14 orang siswa. Anak-anak yang berlatar belakang masyarakat
marginal. Dengan berbagai macam problematikanya. Seperti pada umumnya
masyarakat kumuh, terpinggirkan dan nyaris tak pernah diperhatikan, kecuali
saat akan ada suksesi kepemimpinan.
Kehadiran
Naina untuk mengajar di kelas 9F ini, pun mengalami penolakan. Bahkan para
siswa ini, bertaruh, sampai sejauh mana dan sampai berapa hari guru mereka yang
satu ini akan bertahan di dalam kelas dan mengajar mereka. Mereka sangat yakin,
bahwa guru tersebut akan bisa diusir dari kelas, secepat mungkin sebagaimana
guru-guru mereka terdahulu.
Akan
tetapi, mereka belum mengetahui, siapa guru yang akan didapatkan di dalam kelas. Seberapa kuat
mentalnya untuk menghadapi dan bertahan terhadap kegilaan mereka.
Film
yang diproduksi oleh Jash Raj Film, berjudul Hickhi. Ini, dibintangi oleh Rani Mukherjee. tentu saja, berbeda
dari film-film bollywood yang sering kita tonton di layar tv nasional, bahkan
berbeda dari film bollywood yang dibintangi oleh Rani sendiri. Ya, jangan
kecewa jika para pembaca/pemirsa tidak mendapati dalam film ini lagu dengan
adegan perkelahian, tarian dan atau joget yang aduhai.
Film
ini dirilis tahun 2018 yang lalu, bergendre drama sosial, mengangkat tema
pendidikan dengan latar belakang masyarakat India dengan segala problematika
sosial yang melingkupinya.
Waima,
sudah berlalu dua tahun sejak mulai diputarnya film ini. Tetapi, tetap layak
dijadikan sebagai referensi bagi penyuka film, terlebih bagi yang berprofesi
sebagai guru, orang tua, juga bagi para siswa.
Bagi
guru, bisa mengadaptasi metode mengajar yang ditampilkan di dalamnya, tentu
disesuaikan dengan kondisi lingkungan sosial temapt seorang guru mengajar. Juga
bagi seorang tua, bagaimanapun terbatasnya kemampuan mereka, harus tetap
mendorong anak-anaknya untuk terus belajar, bersekolah, agar menjadi generasi
yang lebih baik. Demikian pual bagi para peserta didik, harus tetap memiliki
motivasi tinggiuntuk terus belajar, tidak menyerah dengan kondisi dan keadaan
lingkungan sosial, dengan tetap menjaga daya kritis.
Film
ini dibanyak sisi memiliki kesamaan dengan dengan film “Freedom Writer” yang
disutradarai oleh Richard LaGravenese, tetapi dengan ciri dan keunggulannya
masing-masing. Bahkan, film ini lebih menguras emosi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar