Senin, 20 Januari 2020

Belajar dari Hickhi


Namanya Naina Mathur, seorang sarjana Pendidikan. Memiliki cita-cita menjadi seorang guru. Setelah menyelesaikan pendidikan magisternya di bidang sains, dia melamar menjadi tenaga pengajar, dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Tapi, tak satu pun sekolah yang mau menerimanya. Bahkan ada dua belas sekolah yang menolak untuk menerimanya menjadi guru.
Penolakan yang diberikan kepadanya sebenarnya bukan tanpa alasan. Naina, mengidap sebuah penyakit “cegukan” yang disebut “syndrom tourette” Dari hal tersebutlah, dia dianggap tidak akan sanggup menjadi pengajar. Pimpinan sekolah yang ditempatinya melamar pekerjaan, menyarankannya untuk mencari pekejaan yang lain. Bahkan ayahnya sendiri pun, tidak setuju bila ia menjadi guru.

Sebenarnya, penolakan yang dialami Naina tidak hanya terjadi saat dia hendak melamar pekerjaan menjadi seorang guru. Tetapi, saat sekolah pun, dia sudah mendapatkan penolakan dari guru-gurunya, dari teman-temannya, hingga ia harus berpindah-pindah tempat sekolah.
Suatu hari, dia mendapatkan panggilan untuk mengajar di sebuah sekolah, yang bernama, St. Notker’s. Kepala sekolah tersebut memberinya kesempatan untuk menajar di sekolah tersebut, meskipun dari guru-guru yang lain, tampaknya merespon dengan penolakan.
Ternyata, perjuangan mendapatkan pekerjaansebagai guru, bagi Nania tidak berhenti di situ. Karena perjuangan sesungguhnya datang setelah itu.
Kepala sekolah, memberinya tanggung jawab untuk mengajar kelas 9F. Sebuah kelas yang dicap “kelas pembuangan.” Kelas yang sudah bergonta-ganti guru, karena tak pernah ada yang tahan mengajar di kelas ini.
Kelas ini terdiri dari 14 orang siswa. Anak-anak yang berlatar belakang masyarakat marginal. Dengan berbagai macam problematikanya. Seperti pada umumnya masyarakat kumuh, terpinggirkan dan nyaris tak pernah diperhatikan, kecuali saat akan ada suksesi kepemimpinan.
Kehadiran Naina untuk mengajar di kelas 9F ini, pun mengalami penolakan. Bahkan para siswa ini, bertaruh, sampai sejauh mana dan sampai berapa hari guru mereka yang satu ini akan bertahan di dalam kelas dan mengajar mereka. Mereka sangat yakin, bahwa guru tersebut akan bisa diusir dari kelas, secepat mungkin sebagaimana guru-guru mereka terdahulu.
Akan tetapi, mereka belum mengetahui, siapa guru yang akan  didapatkan di dalam kelas. Seberapa kuat mentalnya untuk menghadapi dan bertahan terhadap kegilaan mereka.
Film yang diproduksi oleh Jash Raj Film, berjudul Hickhi. Ini,  dibintangi oleh Rani Mukherjee. tentu saja, berbeda dari film-film bollywood yang sering kita tonton di layar tv nasional, bahkan berbeda dari film bollywood yang dibintangi oleh Rani sendiri. Ya, jangan kecewa jika para pembaca/pemirsa tidak mendapati dalam film ini lagu dengan adegan perkelahian, tarian dan atau joget yang aduhai.
Film ini dirilis tahun 2018 yang lalu, bergendre drama sosial, mengangkat tema pendidikan dengan latar belakang masyarakat India dengan segala problematika sosial yang melingkupinya.
Waima, sudah berlalu dua tahun sejak mulai diputarnya film ini. Tetapi, tetap layak dijadikan sebagai referensi bagi penyuka film, terlebih bagi yang berprofesi sebagai guru, orang tua, juga bagi para siswa.
Bagi guru, bisa mengadaptasi metode mengajar yang ditampilkan di dalamnya, tentu disesuaikan dengan kondisi lingkungan sosial temapt seorang guru mengajar. Juga bagi seorang tua, bagaimanapun terbatasnya kemampuan mereka, harus tetap mendorong anak-anaknya untuk terus belajar, bersekolah, agar menjadi generasi yang lebih baik. Demikian pual bagi para peserta didik, harus tetap memiliki motivasi tinggiuntuk terus belajar, tidak menyerah dengan kondisi dan keadaan lingkungan sosial, dengan tetap menjaga daya kritis.
Film ini dibanyak sisi memiliki kesamaan dengan dengan film “Freedom Writer” yang disutradarai oleh Richard LaGravenese, tetapi dengan ciri dan keunggulannya masing-masing. Bahkan, film ini lebih menguras emosi.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar