Tiga hari yang lalu, seorang kerabat bertandang ke kediaman kami. Katanya, baru saja menghadiri pertemuan di kantor lurah, terkait penerima bansos KKS/PPKM. Bantuan sosial ini masih sekaitan dengan upaya pemerintah dalam membantu masyarakat yang terdampak bencana pandemi Covid-19. Bansos kali ini dalam bentuk sembako seharga 300ribu setiap bulannya, dalam jangka waktu 6 bulan tahun anggaran 2021.
Sehari berselang, saya berjumpa dengan seorang teman, di masjid tempat kami menunaikan salat Jum'at. Sebelum acara Jum'at dimulai, kami sempat berbicara beberapa hal sekaitan dengan kepengurusan di masjid. Termasuk, menyinggung tentang bantuan sosial pemerintah, yang disalurkan sehari sebelumnya.
Menurutnya, data penerima bantuan tersebut terasa mengganjal. Karena menurutnya, beberapa orang yang menerima atau lebih tepatnya tercantum namanya, masih tergolong orang yang mampu dengan beberapa kriteria. Meskipun itu secara pandangan kasat mata yang masih subjektif.
Tapi, yang membuat saya kaget sekaligus tergelitik, adalah saat dia menyebutkan nama saya tercantum sebagai penerima bansos tersebut.
Padahal, saya sendiri tidak tahu menahu tentang bansos tersebut, siapa saja penerimanya. Karena meskipun tempat mukim saya berjarak sangat dekat dengan kantor lurah, saya tak pernah mendapatkan kabar berita tentang hal tersebut, termasuk menerima undangan pertemuan (seperti undangan yang didapatkan oleh kerabat kami, yang saya ceritakan di atas).
Setelah menunaikan salat Jum'at, saya sebenarnya ingin mempertanyakan hal tersebut kepada salah seorang relawan yang bekerja pada salah satu tim kerelawanan sosial. Tapi, kesempatan itu terlewat, saat dia kelihatannya terburu-buru meninggalkan masjid karena dipanggil oleh pak Lurah, yang ikut menunaikan salat Jum'at di masjid kami tersebut.
Saya pun berencana menghubungi relawan sosial yang masih kerabat saya via media sosial. Tapi, karena beberapa aktifitas. Hal itu sempat terpending dan mengendap.
Sehari setelah hari Jum'at, saya dan istri mengikuti pertemuan di sebuah hajatan pegiat literasi. Tepatnya, launching buku. Di tengah berlangsungnya acara, istri saya yang duduk di samping saya, memperlihatkan chat seorang temannya yang juga tetangga kami.
Dalam chatnya tersebut, dia memperlihatkan daftar nama-nama penerima bansos khusus untuk di kampung kami. Dalam daftar tersebut, tercantum identitas saya, yang benar-benar itu adalah saya. Nomor induk kependudukan, nama asli, tempat lahir, serta nama ibu kandung. Secara detail saya menmperhatikan hal tersebut. Karena dalam beberapa kasus, meskipun memiliki nama yang sama, tapi NIK berbeda, maka itu bisa dipastikan orang yang berbeda. Kecuali, dia memiliki identitas ganda yang sengaja ataupun tidak sengaja digandakan. Hanya saja, saya ragu, jika saat ini, terkoneksinya data kependudukan dengan instansi-instansi pemerintah antara yang satu dengan yang lainnya masih ada yang memiliki data yang ganda.
Setelah memperlihatkan isi chat tersebut. Saya pun menyapa seorang teman yang duduk bersebelahan dengan saya di acara launching buku tersebut. Selain sebagai relawan pegiat literasi di kampungnya, dia pun seorang relawan sosial di sebuah lembaga yang sama dengan teman sekaligus kerabat saya yang di atas.
Dari jawaban singkat yang saya tangkap, bahwa para relawan sosial ini, bingung dengan data penerima bantuan yang saya pertanyakan tersebut, karena menurutnya, di kampungnya pun kekisruhan yang sama dan data yang datang, tidak diketahui berasal dari mana? Data basenya sejak tahun kapan.
Selanjutnya, saya menghubungi kerabat saya yang juga relawan sosial, via chat mempertanyakan perihal tercantumnya nama saya di penerima bantuan. Jawaban yag diberikan tetap sama, bahwa dirinya bingung akan data tersebut. Apalagi sekaitan dengan status saya sebagai Pegawai Negeri, otomatis tidak bisa mendapatkan bantuan sosial, meskipun saya berniat mengalihkannya ke orang lain yang lebih berhak menerimanya. Tapi, konsekuensinya, adalah nama saya yang tetap tercantum sebagai penerima, dan itu terbilang sebuah temuan(pelanggaran).
Amma ba'du, saya diarahkan untuk menghubungi pihak yang menangani bantuan tersebut, yaitu TKSK, saya ingin memperjelas, sekaitan dengan pengembalian bansos tersebut. Apakah saya yang harus mengembalikannya secara langsung ke kas negara, ataukah pihak penyalur saja. Karena, saya khawatir, jika dikemudian hari, saya dimintai keterangan terkait penerima bansos tersebut, tercantumnya nama saya, dan mekanisme yang saya tempuh dengan pengembalian dana bansos yang mengatasnamakan saya.
Setelah mendapatkan jawaban yang saya anggap memuaskan, saya pun merasa aman.
Namun, perbincangan berlanjut, setelah istri saya,membuat status di story' media sosialnya, mempertanyakan kasus atau kejanggalan yang saya alami tersebut.
Beragam tanggapan masuk dari beberapa temannya. Termasuk, yang menyarankan saya agar mempertanyakan ke pihak penyalur tentang kartu penerima. Apakah betul-betul sudah dikembalikan ke kas negara. Karena menurutnya, dia berkaca pada pengalaman dengan kasus yang hampir sama, kartu penerima bansos yang sudah tercetak karena tidak diambil oleh si empunya kartu, biasanya dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Digesek, diambil uangnya kemudian yang jadi sasaran adalah nama yang tercantum sebagai penerima bantuan, padahal si empunya nama sama sekali tidak mengetahuinya.
Tanggapan lain juga muncul, bahwa bansos yang mencantumkan nama saya sebagai penerima, memang bansos yang peruntukannya, bukan untuk kalangan orang miskin saja, tetapi orang kaya, Pegawai Negeri pun, jika terdampak bencana COVID-19, pun berhak menerima bantuan tersebut.
Saya yang tak mau menuai kontroversi-kontroversi tersebut, kemudian berselancar di dunia Maya, mencari tahu tentang bansos KKS/PPKM-BPNT tersebut. Kategori penerimanya siapa saja. Panjang lebar penjelasan yang termaktub dalam ulasan yang sempat saya baca. Salah satunya adalah kategori penerima bansos tersebut adalah kategori miskin ekstrem dan tercatat di pusat data DKS (Data Kesejahteraan Sosial) kementerian sosial.
Saya pun penasaran dengan data kementerian sosial tersebut. Apakah betul nama saya tercantum di data tersebut atau tidak. Jika tercatat dalam DKS. dasar pencatatannya dari mana, dan kapanpendataan itu dilakukan danriterianya seperti apa? Kemudian, jika nama saya tidak tercantum dalam DKS, data yang beredar itu, diambil dari mana? Sehingga nama saya muncul secara tiba-tiba.
Hanya saja, saat saya mengakses DKS Kementerian Sosial, pada laman:;https://dtks.kemensos.go.id/cek, hingga tulisan ini selesai saya buat, belum bisa saya akses.(tapputar-putarki, alias loading)
Kisruh tentang DKS ini, tidak terjadi untukali ini saja dan menuai kontroversi. Beberapa waktu yang lalu, khususnya awal-awal munculnya padeblug covid-19 ini, terlebih saat akan dibagikannya bansos yang bagi yang terdampak bencana ini, pun disorot. Bahkan beberapa kelompok masyarakat mendatangi kantor kelurahan mempertanyakan hal tersebut. Meskipun pada akhirnya, ditutup dengan cara damai, dijadikan bahan pelajaran untuk perbaikan di masa yang akan datang. Tanpa ada yang blunjuk tangan bahwa data yang dikeluarkan itu, berdasar dari ini...agar kelompok masyarakat bawah tidak saling diperbenturkan..kemudian pihak lain yang menuai hasilnya.