Minggu, 26 Desember 2021

Saya Bertanya, Sekaligus Klarifikasi

Tiga hari yang lalu, seorang kerabat bertandang ke kediaman kami. Katanya, baru saja menghadiri pertemuan di kantor lurah, terkait penerima bansos KKS/PPKM. Bantuan sosial ini masih sekaitan dengan upaya pemerintah dalam membantu masyarakat yang terdampak bencana pandemi Covid-19. Bansos kali ini dalam bentuk sembako seharga 300ribu setiap bulannya, dalam jangka waktu 6 bulan tahun anggaran 2021.

Sehari berselang, saya berjumpa dengan seorang teman, di masjid tempat kami menunaikan salat Jum'at. Sebelum acara Jum'at dimulai, kami sempat berbicara beberapa hal sekaitan dengan kepengurusan di masjid. Termasuk, menyinggung tentang bantuan sosial pemerintah, yang disalurkan sehari sebelumnya. 

Menurutnya, data penerima bantuan tersebut terasa mengganjal. Karena menurutnya, beberapa orang yang menerima atau lebih tepatnya tercantum namanya, masih tergolong orang yang mampu dengan beberapa kriteria. Meskipun itu secara pandangan kasat mata yang masih subjektif.

Tapi, yang membuat saya kaget sekaligus tergelitik, adalah saat dia menyebutkan nama saya tercantum sebagai penerima bansos tersebut. 

Padahal, saya sendiri tidak tahu menahu tentang bansos tersebut, siapa saja penerimanya. Karena meskipun tempat mukim saya berjarak sangat dekat dengan kantor lurah, saya tak pernah mendapatkan kabar berita tentang hal tersebut, termasuk menerima undangan pertemuan (seperti undangan yang didapatkan oleh kerabat kami, yang saya ceritakan di atas).

Setelah menunaikan salat Jum'at, saya sebenarnya ingin mempertanyakan hal tersebut kepada salah seorang relawan yang bekerja pada salah satu tim kerelawanan sosial. Tapi, kesempatan itu terlewat, saat dia kelihatannya terburu-buru meninggalkan masjid karena dipanggil oleh pak Lurah, yang ikut menunaikan salat Jum'at di masjid kami tersebut.

Saya pun berencana menghubungi relawan sosial yang masih kerabat saya via media sosial. Tapi, karena beberapa aktifitas. Hal itu sempat terpending dan mengendap.

Sehari setelah hari Jum'at, saya dan istri mengikuti pertemuan di sebuah hajatan pegiat literasi. Tepatnya, launching buku. Di tengah berlangsungnya acara, istri saya yang duduk di samping saya, memperlihatkan chat seorang temannya yang juga tetangga kami. 

Dalam chatnya tersebut, dia memperlihatkan daftar nama-nama penerima bansos khusus untuk di kampung kami. Dalam daftar tersebut, tercantum identitas saya, yang benar-benar itu adalah saya. Nomor induk kependudukan, nama asli, tempat lahir, serta nama ibu kandung. Secara detail saya menmperhatikan hal tersebut. Karena dalam beberapa kasus, meskipun memiliki nama yang sama, tapi NIK berbeda, maka itu bisa dipastikan orang yang berbeda. Kecuali, dia memiliki identitas ganda yang sengaja ataupun tidak sengaja digandakan. Hanya saja, saya ragu, jika saat ini, terkoneksinya data kependudukan dengan instansi-instansi pemerintah  antara yang satu dengan yang lainnya masih ada yang memiliki data yang ganda. 

Setelah memperlihatkan isi chat tersebut. Saya pun menyapa seorang teman yang duduk bersebelahan dengan saya di acara launching buku tersebut. Selain sebagai relawan pegiat literasi di kampungnya, dia pun seorang relawan sosial di sebuah lembaga yang sama dengan teman sekaligus kerabat saya yang di atas.

Dari jawaban singkat yang saya tangkap, bahwa para relawan sosial ini, bingung dengan data penerima bantuan yang saya pertanyakan tersebut, karena menurutnya, di kampungnya pun kekisruhan yang sama dan data yang datang, tidak diketahui berasal dari mana? Data basenya sejak tahun kapan.

Selanjutnya, saya menghubungi kerabat saya yang juga relawan sosial, via chat mempertanyakan perihal tercantumnya nama saya di penerima bantuan. Jawaban yag diberikan tetap sama, bahwa dirinya bingung akan data tersebut. Apalagi sekaitan dengan status saya sebagai Pegawai Negeri, otomatis tidak bisa mendapatkan bantuan sosial, meskipun saya berniat mengalihkannya ke orang lain yang lebih berhak menerimanya. Tapi, konsekuensinya, adalah nama saya yang tetap tercantum sebagai penerima, dan itu terbilang sebuah temuan(pelanggaran). 

Amma ba'du, saya diarahkan untuk menghubungi pihak yang menangani bantuan tersebut, yaitu TKSK, saya ingin memperjelas, sekaitan dengan pengembalian bansos tersebut. Apakah saya yang harus mengembalikannya secara langsung ke kas negara, ataukah pihak penyalur saja. Karena, saya khawatir, jika dikemudian hari, saya dimintai keterangan terkait penerima bansos tersebut, tercantumnya nama saya, dan mekanisme yang saya tempuh dengan pengembalian dana bansos yang mengatasnamakan saya.

Setelah mendapatkan jawaban yang saya anggap memuaskan, saya pun merasa aman.

Namun, perbincangan berlanjut, setelah istri saya,membuat status di story' media sosialnya, mempertanyakan kasus atau kejanggalan yang saya alami tersebut.

Beragam tanggapan masuk dari beberapa temannya. Termasuk, yang menyarankan saya agar mempertanyakan ke pihak penyalur tentang kartu penerima. Apakah betul-betul sudah dikembalikan ke kas negara. Karena menurutnya, dia berkaca pada pengalaman dengan kasus yang hampir sama, kartu penerima bansos yang sudah tercetak karena tidak diambil oleh si empunya kartu, biasanya dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Digesek, diambil uangnya kemudian yang jadi sasaran adalah nama yang tercantum sebagai penerima bantuan, padahal si empunya nama sama sekali tidak mengetahuinya.

Tanggapan lain juga muncul, bahwa bansos yang mencantumkan nama saya sebagai penerima, memang bansos yang peruntukannya, bukan untuk kalangan orang miskin saja, tetapi orang kaya, Pegawai Negeri pun, jika terdampak bencana COVID-19, pun berhak menerima bantuan tersebut.

Saya yang tak mau menuai kontroversi-kontroversi tersebut, kemudian berselancar di dunia Maya, mencari tahu tentang  bansos KKS/PPKM-BPNT tersebut. Kategori penerimanya siapa saja. Panjang lebar penjelasan yang termaktub dalam ulasan yang sempat saya baca. Salah satunya adalah kategori penerima bansos tersebut adalah kategori miskin ekstrem dan tercatat di pusat data DKS (Data Kesejahteraan Sosial) kementerian sosial.

Saya pun penasaran dengan data kementerian sosial tersebut. Apakah betul nama saya tercantum di data tersebut atau tidak. Jika tercatat dalam DKS. dasar pencatatannya dari mana, dan kapanpendataan itu dilakukan danriterianya seperti apa? Kemudian, jika nama saya tidak tercantum dalam DKS, data yang beredar itu, diambil dari mana? Sehingga nama saya muncul secara tiba-tiba. 

Hanya saja, saat saya mengakses DKS Kementerian Sosial, pada laman:;https://dtks.kemensos.go.id/cek, hingga tulisan ini selesai saya buat, belum bisa saya akses.(tapputar-putarki, alias loading)

Kisruh tentang DKS ini, tidak terjadi untukali ini saja dan menuai kontroversi. Beberapa waktu yang lalu, khususnya awal-awal munculnya padeblug covid-19 ini, terlebih saat akan dibagikannya bansos yang bagi yang terdampak bencana ini, pun disorot. Bahkan beberapa kelompok masyarakat mendatangi kantor kelurahan mempertanyakan hal tersebut. Meskipun pada akhirnya, ditutup dengan cara damai, dijadikan bahan pelajaran untuk perbaikan di masa yang akan datang. Tanpa ada yang blunjuk tangan bahwa data yang dikeluarkan itu, berdasar dari ini...agar kelompok masyarakat bawah tidak saling diperbenturkan..kemudian pihak lain yang menuai hasilnya.

Jumat, 03 September 2021

Ikut Challenge, Elma Malewa Berdonasi 1000 Masker untuk Almamaternya

 

Melalui informasi media sosial, salah satu perusahan multinasional, Aice Indonesia, melaksanakan challenge untuk melakukan pembagian donasi masker kesehatan ke kelompok masyarakat yang direkomendasikan, dalam rangka pencegahan covid-19, yang masih mewabah.

Dalam challenge tersebut, peserta diminta untuk mengunggah video atau foto tentang deklarasi atau ajakan memakai masker. Para peserta diminta untuk membuat tagline tentang pentingnya memakai masker tersebut.

Adalah Elma Malewa, sapaan akrab dari pemilik nama lengkap Erma Suryanti, ditunjuk menjadi salah seorang pemenang oleh pihak penyelenggara, Aice Indonesia. Sehingga berhak mendonasikan 1000 buah masker kesehatan kepada kelompok masyarakat yang telah direkomendasikan sebelumnya.

Dalam unggahan instagramnya, Elma Malewa, telah merekomendasikan Ponpes K.H. Muhammad Dahlan, untuk menerima donasi tersebut.

"Awalnya saya akan merekomendasikan beberapa sekolah di kecamatan Tompobulu, tetapi, karena harus menunjuk satu kelompok masyarakat dalam 1 komunitas saja, maka, saya memilih ponpes tersebut," ungkapnya saat dimintai konfirmasi.

"Saya memilih ponpes K.H. Ahmad Dahlan, selain karena dekat lokasi tempat tinggal saya, juga tak lain merupakan almamater tempat saya dulu menimba ilmu," lanjutnya memberikan penjelasan.

Ponpes K.H. Ahmad Dahlan, merupakan salah satu lembaga pendidikan yang ada di kelurahan Ereng-Ereng, dengan membina tiga tingkatan.

"Ya, jumlah penerima donasi di ponpes tersebut, lumayan banyak. Karena ada tingkatan sekolah yang dibina, selain pegawai dan tenaga pendidik ya tentu saja." Imbuh, ibu 3 orang putra ini.

Sementara itu, pihak ponpes, sangat terharu dan berterima kasih atas donasi yang yang telah diterima, pada hari Kamis, 02 September 2021

"Kami, mengucapkan terima kasih atas rekomendasi dan donasi dari salah seorang alumni kami," ujar ustadz Nawir, pimpos K.H. Ahmad Dahlan.

Setelah menerima donasi, dari jasa pengiriman paket, pihak pondok pesantren, langsung membagikan ke seluruh peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan.


Minggu, 08 Agustus 2021

Karti Sang Pembeda

 

Kini, rasa penasaran saya sudah terjawab, pada isi buku yang bersampul merah maron tersebut. Novelet yang mengambil latar masa kolonial Belanda, ditulis begitu sangat apik. Meski hanya sebuah novelet, tapi diceritakan dengan begitu lugas. 

Sebagaimana disebutkan, bahwa kehidupan sang tokoh terjadi setelah kehidupan max Havelaar atau Multatuli. Kemudian berakhir pada tahun 1879. Tepat saat Kartini lahir (hal. 1)

Pada tahun-tahun perjalanan kehidupan Karti, si tokoh utama, sedang berlangsung politik etis yang diterapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada bangsa-bangsa jajahannya.

Meski demikian, tidak semua orang dapat merasakan politik etis tersebut. Jelata yang telanjur menjadi budak, selamanya menjadi budak. Sementara bagi kaum priyayi, bangsawan, hanya kaum Adam saja yang bisa merasakan politik balas budi atas kebijakan ratu Wilhelmina itu. Sedangkan kaum hawa, seperti rakyat kebanyakan. Terutama yang masih mempertahankan adat budaya Jawa yang kental. Masih tabu jika perempuan berpendidikan tinggi. Dianggap melawat adat dan merusak tatanan yang sudah ada.

Setelah menginjak usia remaja, para putri bangsawan harus menjalani masa-masa dipingit. Tinggal di dalam kamar, hingga datang calon suami yang akan menjemput mereka untuk diperistri.

Demikian halnya yang berlaku pada Karti. Ketika usianya sudah menginjak usia 17 tahun, artinya, ia sudah memasuki masa untuk dipingit. Bahkan, masa itu telah dijalaninya sejsk usia 12 tahun.

Tapi, keinginannya untuk bebas berinteraksi seperti para pria, bersekolah hingga ke Nederland, membuatnya berontak. Di dalam kamarnya, ia selalu merasa gelisah, karena masa-masa itu telah menyiksa batinnya. 

Meskipun kata hatinya hanya bisa ia ungkapkan kepada kakak laki-lakinya serta  Everdine dan Van Edeen yang merupakan teman sekolahnya di ELS. Sementara sebangsanya kaum hawa, ia sama sekali tak mendapat dukungan. Hanya satu yang mendukungnya untuk keluar dari tatanan yang dianggap penjara emas itu. Ialah ibunya, ya ibu kandungnya. Yang hanya menjadi istri yang tak dianggap keberadaannya oleh suaminya, karena bukan dari keturunan bangsawan.

Novelet yang terdiri dari dua bagian ini, menceritakan sosok Karti ketika berada di Neraka Emas dan Neraka Besi. 

Neraka Emas sendiri merupakan istilah bagi kehidupan yang dijalani oleh Karti saat masih dalam pingitan ayahandanya. Sedangkan Neraka Besi, situasi yang dialami oleh Karti saat nekat melarikan diri dari rumahnya. Yang menjumpai dan mengalami situasi yang tidak jauh berbeda dengan yang dialaminya saat berada di Neraka Emas

Tokoh Karti dalam novelet ini diceritakan sebagai perempuan yang tangguh, pemberani dan tak mudah menyerah. Meskipun nyawa sebagai taruhannya. 

Hal tersebut dapat dilihat saat dia nekat melarikan diri, ketika malam persiapan acara pernikahan yang tak dikehendakinya dengan seorang bupati Rembang. Juga ketika bersembunyi di Batavia, menjadi buron ayahnya sendiri, ancaman dan gangguan-gangguan yang didapatkannya tak sedikit pun menyurutkan langkahnya, hingga pulang kembali ke rumahnya, menuruti nasihat Raden Mas Radityo, kakaknya.

Teror dan ancaman yang mengelilinginya tak membuatnya menyerah pada situasi, bahkan kehilangan seorang teman yang memercayainya selama ini sekalipun, tak menyurutkan langkahnya. Tujuannya hanya satu, memperoleh hak-hak yang sama dengan kaum perempuan di luar sana. Seperti sosok perempuan-perempuan yang menjadi inspiratornya, Pundita Ramabai, pejuang wanita dari India, Sri Ratu Wilhelmina, seorang perempuan kekasih Dewa, dan Mathilda Newport, Joan of Arch dari Liberia. (hal. 9)

Dia memang perempuan yang lembut, tapi tak membuatnya menjadi manja, tekadnya telah bulat, cita-citanya untuk memajukan kaum perempuan sudah diyakini sepenuhnya dalam hatinya. Seperti pesan terakhir ibunya sebelum mereka berpisah. "Perempuan Hindia Belanda harus menyadari kebodohannya." (hal. 30)

Dalam buku yang ditulis oleh Mayon Sutrisno pada 2001 ini, menggambarkan pula keadaan pribumi hidup di masa kolonial, menjadi sapi perah bagi bangsa penjajah di satu sisi, juga menjadi budak bagi tuan tanah  bagi para penguasa setempat, yang tunduk pada pemerintahan kolonial.

Memang novelet ini cukup ringkas untuk menceritakan seluruh kehidupan Karti, hingga ia menggapai cita-cita yang diperjuangkannya. Tapi, bisa menjadi referensi bagi generasi yang hidup di zaman ini, bahwa selain R.A. Kartini yang lazim didengar dan diperingati setiap tahunnya, ternyata ada perempuan lain yang juga bisa menjadi inspirasi.

Pertanyaan saya setelah membaca novelet ini, benarkah Karti, tokoh yang nyata? Atau ia hanya fiktif belaka? Seandainya ada buku biografinya yang lebih lengkap dari novelet ini. Sungguh saya penasaran ingin membacanya.


Judul: Hidupku Sesudah Max Havelar- Neraka Emas Neraka Besi

Penulis: Mayon Sutrisno

Penerbit: Progress, Jakarta

Tahun : 2001

Halaman: VI, 101 hal, 23 cm.