“Yani, ikutan dong”. Panggilku setengah berteriak, ketika melihat seorang teman sekelasku, berjalan di tengah hujan yang cukup deras siang itu, dengan memakai sebuah payung. “Yani…!!! Numpang ya”. Terikakku lagi kali ini agak lebih keras. Rupanya panggilanku yang pertama tadi tidak didengarnya, mungkin karena suara guyuran air hujan yang memang sangat keras memekakkan gendang telinga. Pada panggilanku yang kedua barulah dia menoleh ke arahku. “Ayo kesini”. Sambil tersenyum membalas ke arahku dan mengajakku pulang bersamanya. “Kamu yang ke sini, masa aku yang ke sana, nanti aku basah”. Balasku setengah berteriak,
karena suara hujan yang sedikit mengganggu komunikasi kami. Dia pun berjalan menuju tempat aku berteduh, di pojok ujung gedung sekolah kami. “Ayo kita kita sama-sama pulang, payungku muat untuk dua orang”. Ucapnya menawarkan bantuan, sesaat setelah dia sudah berdiri di dekat tempat aku duduk, setengah jongkok. “Terima kasih ya, aku cuma bercanda kok”. Balasku tersenyum dan tertawa kecil. “Iih ayolah Ndi, tidak apa-apa kok, kan lagi hujan, nanti kamu tidak bisa pulang cepat”. Ajaknya dengan serius. “Tidak apa-apa, kamu duluan aja, nanti aku berjalan di sela-sela hujan biar tidak basah, hehehe..” ucapku sambil bercanda. “Benar nih tidak mau ikut? nanti kamu menyesal kalau nasinya basi karena lama menunggu kamu” balasnya dengan bercanda juga. “Maaf ya, sudah membuat perjalannannya tertunda. Biar aku tunggu sampai hujannya agak reda” tegasku lagi. “Kalau begitu aku duluan ya” ucapnya permisi sambil tersenyum. Dia pun berbalik menuju jalan melanjutkan kembali perjalanannya pulang ke rumah. Kupandangi hujan yang membasahi payung merah Yani, dengan sedikit menyesal dan mencaci diri sendiri, mengapa aku tolak ajakan Yani, keikhlasannya untuk menolong. Padahal aku sendiri yang memanggilnya dan menawarkan diri, ikut bersamanya pulang sekolah. Bodoh betul kamu Ndi, umpatku sekali lagi, mengatai diriku bodoh.
Tapi untunglah kamu tidak ikut
bersama dia pulang, hibur hatiku.
Mungkin saja aku akan menjadi bahan ejekan teman-teman, yang kebetulan melihat aku
jalan bersama anak baru itu. Pasti jadi tanda tanya lagi bagi mereka. Ya
maklumlah ikut gaya infotainmen, asal sedikit saja, sudah jadi bahan gosip
seperti seorang selebritis. Untung.. Untung. gumamku sambil tersenyum
pada diri sendiri.
Yani memang anak baru di sekolahku,
belum cukup satu bulan dia pindah ke sini. Tapi karena anaknya supel dan pandai
bergaul, dia terasa bukan anak yang baru di sekolah kami. Kami sudah akrab,
apalagi sering sama-sama bertukar fikiran tentang pelajaran. Maklumlah dia
pernah sekolah di kota, jadi kami menganggap dia lebih punya banyak informasi
dan pengetahuan dibanding kami yang hanya tinggal di desa.
Sebenarnya hari-hari sebelumnya kami
sering pulang bareng. Tapi, tidak berduaan saja. Ada beberapa orang teman yang
rumahnya searah dengan rumah kami. Hanya saja hari ini aku masih canggung dan
sedikit malu, kalau harus berjalan berdua dengannya, apalagi berdua dibawah
sebuah payung.
Kulirik jam yang ada di tangan
kiriku, jarum jamnya sudah berada di antara angka dua dan enam, itu artinya
sudah jam 14 lewat tiga puluh menit. Tapi hujan belum berhenti mengguyur bumi,
walau sudah tidak sederas tadi. Rasa lapar dan kantuk yang mulai menyerangku,
seakan sudah membujukku untuk pulang. Walau masih sedikit gerimis kuputuskan
untuk menerobosnya. Buku yang aku bawa,
tempatnya aman di dalam tas, hanya baju dan celana yang akan sedikit basah.
Agar tidak kena cipratan air hujan yang tergenang di lubang-lubang kecil, aku
keluarkan sepatu serta kaos kaki, kemudian menentengnya hingga ke rumah.
Masih terlintas dalam fikiranku,
kejadian yang baru saja berlalu, menolak ajakan Yani, untuk pulang bareng di
bawah sebuah payung. Heeemmm lucu juga ya, mau tapi malu, malu-malu kucing itu
namanya Andi, bisik hatiku dengan sedikit senyum di bibir.
Setelah shalat Ashar, aku memeriksa
kembali catatan yang diberikan oleh guru di sekolah. Tiba-tiba aku melihat
sebuah benda kecil diantara jejeran buku-bukuku, sebuah pulpen berwarna merah
muda, yang tintanya sudah hampir habis. Pulpen ini aku ambil, ketika aku dan
beberapa orang teman, berinisiatif mengerjain seorang pendatang baru di kelas
kami. Ya itulah Yani. Waktu itu, dia meletakkan pulpennya di atas salah satu
bukunya, sementara dia sedang asyik ngobrol dengan salah seorang temanku yang
lain. Kais -salah seorang temanku juga- diam-diam mengambil pulpen Yani dan menyerahkannya
padaku dan bertindak seolah-olah tidak terjadi sesuatu apapun.
“Andi kamu lihat bukuku tidak?” tanya
Yani sekembalinya ke tempat duduknya. “Pulpen apa?” tanyaku balik. “Pulpen
warna pink, tadi aku simpan disini” jelasnya, sambil menunjuk meja yang dia
tempati menyimpan buku dan pulpennya. “Barangkali di dalam buku atau di dalam
laci”, jawabku, sambil memainkan adegan membantu mencarikan pulpennya, aku dan Kais
saling melempar senyum tapi tidak sampai terlihat oleh Yani. Barangkali jatuh
di bawah kursi, coba aku carikan. Saranku sambil melangkah menuju tempat duduk
Yani, dan membungkuk ke bawah kursinya.
“Kalau memang tidak ada, nanti pinjam
sama yang lain saja dulu, tuh sudah bunyi bel masuk” ucapku menenangkan Yani,
yang dari tadi sibuk mencari pulpennya.
Maafkan aku ya teman, karena sudah
mengambil pulpenmu, dan membuatmu sibuk mencarinya, nanti aku kembalikan lagi.
Ucapku dalam hati sambil tersenyum melihat pulpen Yani yang sedang ku pegang.
Umi, kayaknya aku tidak bisa sekolah
hari ini, kepalaku agak sakit. Ucapku pada ibuku, memberitahu tentang kondisiku
yang kurang sehat. Mungkin kamu kena hujan kemarin, balas ibuku. Iya, kemarin sedikit kena hujan
kepalaku. Ucapku pada ibu menerangkan. Mungkin karena kepalaku sensitif dengan
air hujan, asal kena air hujan biar sedikit saja pasti langsung ada reaksi
negatifnya. Ya sudah kalau begitu, tulis saja surat buat gurumu di sekolah,
nanti umi titip sama temanmu yang lewat sebentar. Saran ibuku yang kembali
masuk ke ruang dapur.
“Assalamu alaikum” ucap seseorang
dari arah pintu
“Waalaikumussalam”. Silahkan masuk
nak. Ku dengar suara ibuku menjawab salam, sambil mempersilahkan tamu yang
datang untuk masuk. Kemudian terdengar perbincangan di antara mereka sejenak,
sebelum seseorang mengetuk pintu kamarku dan mengucapkan salam.
“Masuk saja, pintu tidak terkunci”.
Jawabku mempersilahkannya masuk ke kamar.
“Eh Yani dan Sisi, silahkan masuk”,
sapaku ketika melihat dua orang temanku berdiri di ambang pintu kamar. “Tidak
usah bangun, istirahat saja di situ”. Saran Yani, mencoba mencegatku bangun
dari tempat pembaringan. Aku hanya membalasnya dengan senyum.
“Kamu sih tidak mau ikut sama aku
kemarin, makanya kena hujan, ucap Yani membuka pembicaraan, sambil tertawa
kecil, diikuti Sisi yang sejak awal lebih banyak diam.
“Tidak apa-apa kok, cuma sakit biasa
saja” balasku. Suratku tadi sampai kan ke sekolah? lanjutku bertanya. “Iya,
tadi waktu aku lewat, ibumu nitip sama aku”. Kali ini Sisi yang menjawab.
“Terima kasih ya sudah kurepotkan”.
Ucapku.
Sisi hanya membalas deengan
tersenyum.
“Ngomong-ngomong, tadi belajar apa
di sekolah? Aku boleh pinjam catatannya nanti ya” tanyaku kepada kedua orang
temanku ini.
“Berhubung catatanku seperti cakar
ayam, yang aku yakin kamu tidak bisa membacanya, jadi kamu pinjam saja
catatannya Yani yah”. Jawab sisi diiringi tawa kecilnya.
“Hmhm… terserah saja, kalau gak bisa
dibaca ya langsung saja digambar huruf-hurufnya”. Balasku dengan nada bercanda.
Sesaat kemudian Yani mengeluarkan sebuah
buku tulis dari dalam tasnya, dan membuka bagian yang telah diajarkan oleh guru
di sekolah, kemudian menjelaskan secara singkat, bagian yang mana yang harus
aku catat ulang. “Kalau ada yang kurang jelas, nanti ditanyakan ya”. Sambungnya
setelah menyerahkan bukunya padaku.
“Oke deh”. Jawabku singkat. “Penjelasan
ibu Jen diterangkan ulang juga ya” lanjutku sambil tertawa kecil. “Hahaha”…Yani
dan Sisi ikut tertawa.
“Eh kami permisi dulu yah, kamu
musti cepat sembuh Ndi, teman-teman menunggu kamu di sekolah”. Ucap Yani sambil
berdiri dari tempat duduknya.
“Istrirahat aja dulu Ndi”, sambung
Sisi.
“Iya, terima kasih atas kunjungan
dan bukunya yah, mudah-mudahan besok aku sudah bisa ke sekolah lagi’. Balasku
kepada mereka sambil berdiri dari tempat tidur dan mengantar mereka sampai
pintu depan.
Setelah mereka berdua menghilang
dari pandanganku. Aku kembali ke dalam kamar. Dan entah karena apa, tanpa aku
sadari, tiba-tiba mulutku bersiul dan bibirku tersenyum sendiri, seperti
merasakan kebahagiaan. Dan rasa sakit kepala yang sejak pagi aku rasakan.
Sekarang hilang dan berhenti.
Aku meraih buku catatan Yani dan
membuka-buka lembarannya, melihat catatan yang tadi ditunjukkan dan akan aku
tulis ulang. “Cantik juga tulisannya, seperti orangnya” ucapku pada diri
sendiri sambil tersenyum sendiri.
Tapi dalam hatiku tiba-tiba timbul rasa
penasaran, ketika aku buka halaman terakhir di buku Yani, sebuah tulisan “
RANI” yang di luarnya sebuah gambar hati. “Apa maksudnya ya?”, aku mencoba
menebak-nebak sendiri tanda itu. tidak mungkin itu singkatan namanya, setahuku
namanya tidak memiliki huruf R. fikirku sendiri.
Aku terus berfikir mencoba mengurai
dan memecahkan kata dan simbol itu. tapi di sisi lain, aku merasa tak pantas
untuk mengetahui apa makna di balik simbol itu, itu kan rahasia orang, kenapa
mesti aku harus ikut campur urusan orang?. Apalagi aku, tidak punya hubungan
apa-apa dengannya, selain hanya sebatas teman biasa. Tapi semakin aku lawan
rasa penasaran itu, semakin kuatlah ia mendesak fikiranku untuk menyingkapnya.
Sekonyong-konyong aku teringat
sesuatu, beberapa hari yang lalu, saat berangkat ke sekolah, aku melihat Yani
sedang berbincang-bincang dengan seseorang di pinggir jalan, di depan rumah
salah seorang temanku, yang sepertinya sedang ditungguinya. Kelihatannya mereka
sangat akrab, dan sedang membicarakan sesuatu. Entah apa itu, aku tidak tahu
dan tidak perlu aku ketahui.
Apakah mungkin kata RANI adalah
rangkaian dari akronim nama mereka berdua yah? Karena sepengetahuanku nama
cowok itu huruf pertamanya adalah R. tapi mereka kenalan dimana, dan jadiannya
kapan? Bukankah Yani orang yang baru di kampung kami. Pertanyaan-pertanyaan itu
terus memburu dan berkejar-kejaran dalam fikiranku, seakan tanda itu telah
membuat aku cemburu. Segera aku tutup buku Yani dan meletakannya di atas meja
dekat tempat tidurku. Besok atau nanti, akan aku tanyakan langsung kepada Yani.
Gumamku dalam hati. Tapi untuk apa??? Apakah ada manfaatnya bagiku kalau aku
mengetahui maksud dari tanda itu???. hatiku kembali berperang. Nanti saja
dilihat apa maksud dari kata-kata itu, bisa saja itu bukan tulisan Yani, siapa
tau itu nama salah seorang teman Yani di sekolahnya yang dulu. Hatiku mencoba
menghibur. Kucoba menghirup udara dengan perlahan dan menghembuskannya kembali
untuk menenangkan fikiranku dan mencoba memejamkan mata untuk tidur siang…..
Tidak ada komentar :
Posting Komentar