Judul :
Ayah... Kisah Buya Hamka
Penulis :
Irfan Hamka
Penerbit : Republika
Tahun :
2013
ISBN :
978-602-8997-71-3
Halaman : xxvii+321
Ayah adalah putera Syekh Abdul Karim,seorang ulama yang cukup terkenal
di Sumatera. Kami biasa memanggil Syekh Abdul Karim dengan sebutan Innyiak
Doktor. Ibunya bernama Shaffiah. Ayah merupakan anak sulung dari empat
bersaudara. Sebagai anak seorang ulama, beliau pun dicita-citakan oleh ayahnya
menjadi seorang ulama. Untuk itu, selain bersekolah di Sekolah Desa, Innyiak
Doktor memasukkan ayah ke sekolah pendidikan agama yaitu diniyah.
Haji Abdul Karim Amrullah atau masyhur dengan panggilan Buya Hamka
tidak hanya hebat bermain silat dan disebut seorang pendekar. Tetapi
kehebatannya pun dalam berbagai bidang kehidupan yang membuat dirinya tercatat
sebagai tokoh nasional.
Dalam keluarga, beliau mendidik anak-anaknya dengan penuh dedikasi
yang tinggi. Kepemimpinannya dalam keluarga dijalankan dengan penuh ketegasan,
tapi juga dengan lemah lembut. Misalnya, bagaimana cara beliau menegur anaknya
yang berbuat salah, seperti yang diceritakan penulis buku ini.
Kehebatan Buya Hamka dalam bidang keagamaan pun tak diragukan. Lahirnya
tafsir al-Azhar, serta berbagai buku
pemikiran, tasawuf menjadi bukti akan kehebatan beliau.
Dalam bidang kesusastraan, beliau tidak ketinggalan. Novel-novel yang
menggugah dan masyhur hingga hari ini lahir dari tangan sang Ayah. Itulah
sebabnya juga digelari ulama sekaligus sastrawan.
Kehebatannya juga dibuktikan sikap hidupnya berhubungan kepada sesama
mahluk Allah SWT. Buya Hamka tetap
memaafkan Pramoedya Ananta Toer yang telah memusuhi dan memfitnahnya melakukan
plagiat atas karya novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk. Begitu pula terhadap
Soekarno, presiden pertama Indonesia, yang telah memenjarakannya. saat
wafatnya, Buya Hamka tetap mau menjadi imam salat jenazah Bung Karno.
Sang Buya pun menebar cinta kasihnya atas makhluk Allah yang lainnya,
baik itu kepada binatang maupun bangsa jin. Sebagaimana dikisahkan dalam buku
ini pada bagian Ayah berdamai dengan jin dan Si kuning, kucing kesangan ayah.
Saya yakin semua kehebatan beliau, karena kecintaannya terhadap buku,
sejak masih belia, senantiasa membaca berbagai jenis buku dari berbagai gendre
dengan mengunjungi taman baca di kampungnya. Juga persentuhannya bersama
tokoh-tokoh pemikiran baik dalam maupun luar negeri saat itu.
Penggunaan bahasa yang ringan, lugas dan mengalir menjadi daya tarik terhadap buku ini. Penyajian
cerita dengan alur maju mundur, menambah kelebihan buku ini. Peletakan kisah
masa kecil Buya Hamka tidak diletakkan di bab pertama, tetapi sebaliknya, ia
diletakkan di bagian-bagian terahir. Sehingga pembaca akan merasa penasaran
dengan kisah kecil Buya Hamka, kisah keluarganya dan gemblengan ayahnya.
Sehingga beliau bisa tumbuh menjadi
sosok Ayah yang hebat.
Konsistensi penggunaan ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
belum terjaga. Hal ini terlihat dari penggunaan huruf kapital setelah tanda
Tanya dan tanda seru. Ada yang menggunakan huruf kecil adapula yang menggunakan
huruf besar, menjadi kekurangan buku ini
Demikian pula dengan penggunaan kata “Ayah” yang dilekatkan pada Buya
Hamka, huruf pertamanya selalu menggunakan huruf kapital (A) sementara pada bab
Sembilan kata “ayah” (hal 230) tidak menggunakan huruf kapital sebagaimana pada
kata “Ayah” sebelumnya.
Adapula cerita yang berulang, yang seharusnya tidak perlu lagi
diceritakan kembali secara mendetail.
Buku ini memang
tak lepas dari kekurangan, tetapi tidak sampai menutupi kelebihan yang tertulis
di dalamnya. Sehingga penulis yakin, bahwa setelah membaca buku ini, para
pembaca akan mendapatkan informasi yang lengkap tentang Buya Hamka, Ayah yang
hebat tersebut.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar