Tahukah Anda bahwa 17 mei merupakan hari buku
nasional? Ya, 17 Mei ditetapkan sebagai hari buku nasional, bertepatan dengan
momentum peresmian gedung perpustakaan nasional, oleh menteri pendidikan saat
itu, bapak Malik Fajar. Dengan adanya hari buku nasional ini diharapkan kecintaan masyarakat pada
buku semakin meningkat. Dengan mencintai buku, masyarakat pun diharapkan gemar
membaca, gemar menulis, atau lebih singkatnya budaya literasi kian meningkat.
Tidak dapat dipungkiri,
bahwa masyarakat yang melek literasi itulah yang akan membangun peradaban maju,
modern dan tentu saja harus peradaban itu harus beradab karena peradaban yang
tak beradab adalah peradaban yang meninggalkan kebudayaannya. Dengan kata lain,
untuk membangun sebuah peradaban, maka titik tumpu yang harus
diperhatikan adalah budaya atau kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa.
Saya tidak yakin jika
sebuah bangsa akan membangun peradaban jika menanggalkan kebudayaannya. Bisa saja
dari segi pembangunan infrastrukturnya maju, canggih dan luar biasa. Tetapi
kemajuan itu adalah kemajuan semu, atau palsu.
Pemerintah yang tengah
berkomitmen memajukan masyarakatnya agar melek literasi, meletakkan literasi
budaya sebagai literasi dasar yang harus dikuasai oleh seseorang yang ingin
dianggap memiliki kecakapan berliterasi. Dan menyandingkannya dengan kecakapan
literasi lainnya. Seperti, literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi
sains, literasi finansial, dan literasi digital. Kesemua literasi dasar
tersebut saling berkaitan dan bisa saling memengaruhi.
Momentum hari buku nasional
bisa dijadikan batu loncatan atau pemantik bagi bangsa kita untuk meningkatkan
budaya literasinya. Seperti yang telah kita jalankan beberapa tahun terakhir
ini. Pemerintah dan masyarakat bahu membahu melaksanakan sebuah program yang
bisa meningkatkan budaya baca masyarakat. Misalnya, program pengiriman buku ke seluruh
masyarakat khususnya yang tinggal di daerah-daerah terpencil, daerah
perbatasan, pulau-pulau terluar. Baik melalui BUMN, perusahan swasta, komunitas
ataupun perorangan.
Revitalisasi dan maksimalisasi
pembangunan dan pemanfaatan perpustakaan, taman bacaan masyarakat, baik yang dikelola oleh
pemerintah secara langsung, LSM, komunitas atau perpustakaan pribadi. Gerakan Literasi
Nasional (GLN) melaui
Gerakan Literasi Keluarga (GLK), Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan Gerakan Literasi
Masyarakat (GLM). Kesemuanya itu memperlihatkan kecenderungan dan kesadaran
akan kebutuhan pada buku, bahan bacaan dan literasi itu sendiri. Dan untuk
mewujudkan kesemua itu, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama bergerak.
Popularitas hari buku
nasional memang tak segaung hari-hari besar nasional lainnya, seperti hari
pendidikan, hari kebangkitan, hari proklamasi, sumpah pemuda dan sebagainya. Hari
buku nasional, masih asing ditelinga masyarakat kita, itu karena tidak
diupacarakan secara khusus, atau diadakan kemeriahan. Padahal masyarakat kita
terlanjur suka dengan yang hirup-pikuk, kemeriahan dan kesemarakan. Tapi saya
tidak mengatakan bahwa hari buku nasional ini harus diperingati dengan
menghamburkan juga anggaran yang dinikmati secara seremonial an sich.
Tanpa memiliki efek jangka panjang.
Tahun ini, hari buku
nasional begitu istimewa, khususnya bagi umat Islam tanah air. Karena
bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Letak keistimewaannya adalah karena
bulan Ramadhan, bulan diturunkannya ayat pertama al-qur'an. Yang bunyi ayat
tersebut diawali dengan kata iqra' yang berarti membaca. Meskipun pada ayat ini
tidak memerintahkan secara eksplisit (terperinci) untuk membaca buku semata.
Tapi beriqra' secara luas dan mendalam. Salah satunya melaui membaca buku.
Sudah semestinya kita umat
yang beragama Islam mampu menjadikan ayat pertama yang diturunkan kepada
Rasulullah saw. sebagai doktrin yang bisa mengembalikan spirit membaca bagi
kehidupan kita.
Banyak yang beranggapan
bahwa sebenarnya minat baca bangsa kita tinggi, hal ini dibuktikan dengan
tingkat penggunaan media digital dalam penyebaran informasi. Bahkan informasi
yang tidak penting pun di sebar kemana-mana.
Menurut Yudi Latif dalam bukunya
Wawasan Pancasila, literasi media social hanyalah literasi literasi semu. Dapat kita
buktikan dengan maraknya informasi hoax yang tersebar, berita yang belum
terverifikasi kebenarannya merebak. Hal ini karena masyarakat kita tingkat
membacanya baru pada tahapan bisa memindahkan informasi tersebut, belum membaca
secara mendalam, memahami, menganalisa dan mengkritisi isi informasi tersebut.
Bukankah dalam al-qur'an
kita diperintahkan untuk bertabayyun terhadap informasi yang kita dapatkan dari
siapa pun datangnya. Kita mampu menelaah isi info tersebut. Apakah kebenarannya
dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Fenomena lain dari
merebaknya info hoax ini, telah menyita masyarakat kita untuk bergerak dan
membaca secara konsisten dan persisten.
Pencanangan gerakan 15
menit membaca sebelum belajar yang di lakukan di sekolah, seharusnya bisa diterapkan
di lembaga-lembaga atau instansi lain. Pekerjaan/rutinitas kita dalam
keseharian tidak seharusnya menghapus, menghilangkan kebiasaan membaca.
Bukankah setiap masa, ilmu pengetahuan itu mengalami kemajuan. Jika masyarakat
kita sudah hilang minat dan daya bacanya, alamat masyarakat kita akan mengalami
stagnansi. Karena pengetahuannya tidak berkembang.
Rendahnya minat baca
masyarakat kita diantaranya disebabkan oleh sulitnya akses buku, mahalnya harga
buku, dan juga masyarakat lebih gandrung memegang gadget dari pada buku, dengan
alasan ribet, berat dan tidak pleksibel.
Memang, akses buku
khususnya buku berkualitas dengan harga terjangkau hari ini masih sebuah
problem. Sementara lembaga-lembaga penyedia bahan bacaan seperti perpustakaan
sekolah, perpustakaan desa atau lembaga belum mengurus agar layak dikunjungi
dan orang betah membaca di dalamnya. Perpustakaan masih menjadi nomor sekian
dari penyediaan anggaraan.
Demikian pula, pendidikan
bagi pemustaka atau khalayak pembaca belum berjalan secara maksimal. Sehingga
perpustakaan terasa membosankan dan menggerahkan, Fungsi perpustakaan sebagai sarana
rekreatif tidak dianggap sebagai sesuatu yang vital. Terlebih jika bahan
pustakanya pun kurang memadai dan tidak lengkap.
Gaya hidup yang hedonis,
konsumeris telah ikut andil memicu masyarakat kita menjauhi buku. Lebih senang
belanja assesoris, pakaian, dan bahan lux lainnya. Tinimbang membeli buku.
Masih beruntung jika pada gadget atau gawai kita yang super canggih itu
menyimpan buku-buku digital (e-book) untuk kita buka, baca saat kita bersantai.
Patut disyukuri,
di tengah pandangan eksklusifitas buku-buku di negara kita, masih banyak
lembaga/komunitas dan person yang mau tergerak untuk mendonasikan buku-bukunya.
Mengirimkan secara gratis hingga ke pelosok. Bahkan hingga ke pintu-pintu rumah
pembaca, tanpa mengharap imbalan apapun, yang terpenting sampainya buku ke
tangan pembaca.
Lebih baik
menyalakan lilin, daripada mengutuki kegelapan, demikianlah kiranya filosofi
para penderma dan penggerak yang mendermakan dan menggerakkan buku-buku ini. Di
tengah sorotan akan rendahnya minat baca karena akses buku yang sulit.
Lalu, apa alasan kita menjauhi dan membaca buku?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar