Banyak yang
terpukau dengan pidato mendikbud dikti, Nadiem Makarim, beberapa waktu yang
lalu, saat menyambut Hari Guru Nasional. Kemudian pidato itu dibacakan serentak
sebagai pidato seragam, di setiap sekolah oleh para pembina upacara.
Takjub sekaligus
terkesima. Karena pidatonya cukup singkat, hanya 2 halaman. Versi cetaknya, dan
lebih kurang 2 menit versi vidio. Tidak banyak dibumbui oleh ungkapan-ungkapan
retoris, inspiratif nan puitis, ya, sekadar untuk memberikan pujian sesaat
terhadap para guru. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari ungkapan menteri
termuda di jajaran kabinet presiden Jokowi jilid ke-2 ini.
Berikut saya nukilkan penggalan awal pidato
menteri yang lebih senang dipanggil Mas Menteri:
"Biasanya tradisi hari
guru dipenuhi kata-kata inspiratif dan retorik. Mohon maaf, tetapi pidato saya
akan sedikit berbeda. Saya ingin berbicara apa adanya, dengan hati yang tulus,
kepada semua guru di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke."
Tunggu dulu,
Sebelum rasa takjub kita berlanjut, tentu kita perlu menelisik lebih dalam pidato
tersebut. Apakah ungkapan-ungkapan yang dilontarkan oleh Mas Menteri dalam
pidatonya, adalah ungkapan retoris an sich, yang sama dengan ungkapan para
pendahulu Mas Menteri di kementerian yang sama. Meskipun kali ini berkedok
pidato ringkas, bahasa yang lugas, langsung pada intinya. Ataukah ini merupakan
hembusan angin segar, embun penyejuk bagi segenap guru, di seluruh pelosok
negeri.
Lebih lanjut Mas
Menteri menyatakan bahwa, "Perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semua
berawal dan berakhir dari guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu
perintah. Ambillah langkah pertama."
Guru, di manapun
dia berada, memakai label ASN atau honorer, perlu payung hukum yang seharusnya
segera terbit dan bisa dijadikan pedoman bergerak untuk melakukan perubahan di
tempat tugas masing-masing. Sebagai tindak lanjut dari hal yang sudah
diungkapkan. Sebab tidak sedikit dari pemangku kepentingan di negeri ini yang
masih status quo. Tidak akan bergeser paradigmanya, atau keputusan yang
diambilnya tanpa sebuah landasan yang memiliki kekuatan hukum. Lalu, pidato Mas
Menteri bisa dijadikan acuan dan memiliki kekuatan hukum?
Misalnya, hal
paling sederhana, soal pembuatan RPP dengan menggunakan format manual, dicetak
di kertas. Ataukah dalam bentuk digital, soft copy saja. Yang sederhana itu
saja, masih sering dipersoalkan dan dibesar-besarkan, dan membuat seorang guru
terhambat dalam mengajar, mengembangkan pembelajarannya, apatah lagi hal lain
yang belum dipahami secara mendetail.
Persoalan lain
yang tak kalah pentingnya dan mendesak untuk diselesaikan Nas Menteri sebagai
bentuk penghormatan pada guru adalah, upah pada guru honorer, yang turut
memberikan kontribusi pada pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah yang
tersebar di pelosok negeri, masih banyak menggunakan tenaga guru honorer, dan
mendapatkan upah yang tak sebanding dengan pengabdian mereka.
Oleh karena itu,
perlunya kesepahaman dan kerjasama seluruh pihak, pemerintah yang menerbitkan
kebijakan, pengawas yang terjun langsung ke sekolah-sekolah, juga para guru
yang mengajar di kelas. Jika Mas Menteri menginginkan akselerasi, maka kita
semua harus beradaptasi, menyesuaikan diri dengan cepat pula. Agar yang menjadi
cita-cita bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan pendidikan,
bukan sekadar pidato pelipur lara yang diulang setiap tahun.
Eranya Mas
Menteri era digital, yang memungkinkan semua proses berlaku serba cepat pula. Meski
yang diharapkan mengalami perubahan cepat itu harus dari bawah. Tetapi mindset sebagian
dari kita, sudah dikonstruk untuk berbuat jika sudah ada instruksi dari atasan.
Harus ada dulu undang-undangnya, peraturan menteri dan sebagainya. Jika tanpa
itu kadang orang enggan untuk mengambil inisiatif. Status quo masih sangat kuat, sehingga respon terhadap rencana pe5rubahan
masih sering emosional, tanpa tahu dasarnya.
Jika pidato Mas
Menteri tidak segera ditindaklanjuti dan diturunkan dalam sebuah aturan yang
mengikat. Maka, pidato Mas Menteri hanya akan menjadi dokumen, penambah tumpukan
arsip di rak atau lemari. Pelengkap penderita dari benang kusut pendidikan
Indonesia, saat ini. Akankah kapal besar Indonesia bisa bergerak?
Mantap tulisannya. Idenya mengalir...
BalasHapus