Rabu, 15 April 2015

MELAWAN DENGAN KATA



Daripada tidak punya aktifitas apa-apa, saya menyibukkan diri saja -lebih tepatnya berpura-pura sibuk- dengan membuat tulisan yang mungkin tak beraturan ini. Maklum, dalam keadaan gerah sebab belum mandi, dan aroma bau kotoran ayam dari kandang pemelihara ayam pedaging yang sangat mengganngu..mmm..apa hubungannya ya? Nantilah dicari hubungannya.
Saya hanya ingin mereka-reka, meraba-raba dan mengira-ngira (wah sudah pemborosan kata ya, tapi biarlah. tak mengapa) tentang isi daripada buku yang berjudul AirMataDarah yang dianggit oleh Sulhan Yusuf. Kumpulan tulisan sebanyak 104 buah puisi ini, banyak membicarakan tentang kritik sosial (ini asli pendapat pribadi). Terutama kritik terhadap pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan di kabupaten Bantaeng saat ini.(ah yang benar saja?).  

Mengapa kabupaten Bantaeng? Sebab Bantaeng adalah tanah kelahiran penulis buku tersebut. Dan yang tak kalah penting, di Bantaeng penulis bersama beberapa koleganya sedang mengembangkan sebuah gerakan yang disebut dengan gerakan membangun budaya literasi. Sehingga penomena-penomena yang berlaku di dalam masyarakat kabupaten Bantaeng akan coba direkam dalam bentuk tulisan. Tidak terlepas dari kinerja para birokrat yang menjalankan roda pemerintahan di kota mungil ini. Terlepas dari citra pemerintah kabupaten Bantaeng saat ini yang lagi bersinar di luar sana, bahkan konon katanya gaungnya sampai ke luar negeri.
Saya fikir kehadiran buku ini tepatlah adanya. Tidak ingin membuat kita terlena dengan citra-citra yang beredar di luar sana, sehingga kita lupa membangun sebuah otokritik terhadap apa yang “menyimpang” di hadapan kita. Sehingga kehadiran buku ini bisa menjadi penyeimbang apa yang tersampaikan dan apa yang dirasakan. Khususnya bagi penulis buku ini.
Puisi yang berjudul “KATA”. Khususnya pada bait terakhir yang berbunyi: “Untuk menyatakan hidupnya/Di depan dozer/Setia pada biji jagung/Tidak dengan biji nikel.” Menurut saya, pada bait tersebut adalah bentuk kritikan langsung kepada pemerintahan DR. Nurdin Abdullah selaku bupati Bantaeng yang dengan kebijakannya mengundang  para investor asing untuk membangun pabrik smelter di kabupaten Bantaeng.

Saya pun menjadi heran akan sikap pak Nurdin tersebut. Yang mencoba menghilangkan dan mencerabut kebiasaan masyarakat untuk bercocok tanam jagung dan menggantinya dengan pembangunan kawasan industri untuk pabrik smelter tersebut. Bukankah beliau seorang ahli pertanian? Apakah bapak bupati dua periode ini sudah lelah melihat rakyatnya dengan bercocok tanam jagung? Pemilihan kebijakan yang menurut saya sesuatu yang kontraproduktif. Mengapa beliau (bapak bupati) tidak memabngun sahaja pabrik pengolah biji jagung, coklat, kopi ataupun pabrik yang mendukung hasil pertanian di kabupaten Bantaeng. Bukankah dengan pembangunan pabrik-pabrik pendukung tersebut, telah ikut mendukung masyarakat untuk tetap percaya diri dengan produk pertanian yang mereka hasilkan, dari tanah-tanah subur di kabupaten Bantaeng. Jika pemerintah saja tidak mendukung dan menyokong mereka, maka siapa lagi yang bisa dipercaya untuk bisa membantu mereka dari kesulitan membangun pertanian masyarakat.

Jika yang dibangun adalah pabrik-pabrik pengolah hasil pertanian petani Bantaeng sendiri, tentu bahan bakunya tak perlu diimpor dari daerah lain. Tetapi sebaliknya, jika pabrik smelter yang dibangun, maka bahan bakunya tentu saja semuanya didatangkan dari daerah lain.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar