Daripada
tidak punya aktifitas apa-apa, saya menyibukkan diri saja -lebih tepatnya
berpura-pura sibuk- dengan membuat tulisan yang mungkin tak beraturan ini. Maklum,
dalam keadaan gerah sebab belum mandi, dan aroma bau kotoran ayam dari kandang
pemelihara ayam pedaging yang sangat mengganngu..mmm..apa hubungannya ya? Nantilah
dicari hubungannya.
Saya
hanya ingin mereka-reka, meraba-raba dan mengira-ngira (wah sudah pemborosan kata
ya, tapi biarlah. tak mengapa) tentang isi daripada buku yang berjudul
AirMataDarah yang dianggit oleh Sulhan Yusuf. Kumpulan tulisan sebanyak 104
buah puisi ini, banyak membicarakan tentang kritik sosial (ini asli pendapat
pribadi). Terutama kritik terhadap pemerintah yang menjalankan roda
pemerintahan di kabupaten Bantaeng saat ini.(ah yang benar saja?).
Mengapa
kabupaten Bantaeng? Sebab Bantaeng adalah tanah kelahiran penulis buku
tersebut. Dan yang tak kalah penting, di Bantaeng penulis bersama beberapa
koleganya sedang mengembangkan sebuah gerakan yang disebut dengan gerakan
membangun budaya literasi. Sehingga penomena-penomena yang berlaku di dalam
masyarakat kabupaten Bantaeng akan coba direkam dalam bentuk tulisan. Tidak
terlepas dari kinerja para birokrat yang menjalankan roda pemerintahan di kota
mungil ini. Terlepas dari citra pemerintah kabupaten Bantaeng saat ini yang
lagi bersinar di luar sana, bahkan konon katanya gaungnya sampai ke luar
negeri.
Saya
fikir kehadiran buku ini tepatlah adanya. Tidak ingin membuat kita terlena
dengan citra-citra yang beredar di luar sana, sehingga kita lupa membangun
sebuah otokritik terhadap apa yang “menyimpang” di hadapan kita. Sehingga kehadiran
buku ini bisa menjadi penyeimbang apa yang tersampaikan dan apa yang dirasakan.
Khususnya bagi penulis buku ini.
Puisi yang berjudul “KATA”. Khususnya pada bait terakhir yang
berbunyi: “Untuk menyatakan hidupnya/Di depan dozer/Setia pada biji
jagung/Tidak dengan biji nikel.” Menurut saya, pada bait tersebut adalah bentuk
kritikan langsung kepada pemerintahan DR. Nurdin Abdullah selaku bupati
Bantaeng yang dengan kebijakannya mengundang
para investor asing untuk membangun pabrik smelter di kabupaten
Bantaeng.
Saya pun menjadi heran akan sikap pak Nurdin tersebut. Yang mencoba
menghilangkan dan mencerabut kebiasaan masyarakat untuk bercocok tanam jagung
dan menggantinya dengan pembangunan kawasan industri untuk pabrik smelter
tersebut. Bukankah beliau seorang ahli pertanian? Apakah bapak bupati dua
periode ini sudah lelah melihat rakyatnya dengan bercocok tanam jagung?
Pemilihan kebijakan yang menurut saya sesuatu yang kontraproduktif. Mengapa
beliau (bapak bupati) tidak memabngun sahaja pabrik pengolah biji jagung,
coklat, kopi ataupun pabrik yang mendukung hasil pertanian di kabupaten
Bantaeng. Bukankah dengan pembangunan pabrik-pabrik pendukung tersebut, telah
ikut mendukung masyarakat untuk tetap percaya diri dengan produk pertanian yang
mereka hasilkan, dari tanah-tanah subur di kabupaten Bantaeng. Jika pemerintah
saja tidak mendukung dan menyokong mereka, maka siapa lagi yang bisa dipercaya
untuk bisa membantu mereka dari kesulitan membangun pertanian masyarakat.
Jika yang dibangun adalah pabrik-pabrik pengolah hasil pertanian
petani Bantaeng sendiri, tentu bahan bakunya tak perlu diimpor dari daerah
lain. Tetapi sebaliknya, jika pabrik smelter yang dibangun, maka bahan bakunya
tentu saja semuanya didatangkan dari daerah lain.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar